Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Wisata Malam Di Dolly

Surabaya (20.17 WIB ) Matahari belum sepenuhnya tenggelam ketika tulisan besar 'SURABAYA' terlihat megah melatar belakangi mall besar di kota pahlawan. Finally , setelah 10 jam melalui 3 provinsi dan pantat yang hampir mata rasa sampailah di ibukota penuh sejarah ini. Surabaya selalu menggambarkan diri sebagai sosok yang angkuh di daratan. Memakan habis kota-kota kecil di sudut-sudutnya. Bukan karena sombong, tapi memang predikat itu layak disematkan kepada metropolitan yang punya aspal lebar, trotoar sepanjang jalan, dan gedung pencakar memenuhi langit-langit.  Sungguh, susah ditemukan tandingannya. Mungkin Kota Apel sudah mendekati, tapi perlu 2 jam menuju ke sana, jadi tidak masuk ke dalam hitungan. Mustahil pergi ke kota ini tanpa kenalan. Bisa-bisa jadi gelandangan yang terjebak di warung dengan harga tinggi. Maka saya sudah mempersiapkan itu semua. Berbekal sedikit relasi saya menghubungi kenalan lama. Bukan teman ya, masih dianggapnya kenalan karena baru sekali kami

Melawan Hujan

Bantul (05.18 WIB) Air yang jatuh dari langit perlahan mengendurkan intensitasnya. Jika saat ini langit tersibak cahaya, mungkin akan terlihat awan hitam yang menggumpal. Sayangnya hari masih begitu pagi untuk itu. Ini adalah hari bersejarah buat saya. Saya untuk pertama kalinya akan melakukan solo riding terjauh yang pernah saya lakukan. Seorang diri (dan bersama motor tentunya) menyebrangi puluhan kecamatan, belasan kabupaten, dan dua-tiga pulau. Sebenenarnya saya sudah sedari dulu memimpikan perjalanan ini. Tapi sekarang baru terealisasi. Saya sungguh excited sekali! Tidak sabar segera melanjutkan perjalanan. Mungkin benar kata orang. Lingkungan dapat merubah sempurna persepsi kita. Sebagian teman dan keluarga saya terkaget-kaget, setengah tidak percaya. "Hah? Serius? Jauhh sekali.." "Yang bener kamu? Itu gak gampang lho, apalagi lagi musim hujan sekarang.." Dan masih banyak yang lain. Namun keraguan saya cepat hilang. Kenapa? Karena itu bukanlah sesuatu y

Sebuah Permulaan Yang Berakhir

Tulisan ini mungkin sedikit bernuansa ' curhat' . Tapi sebenarnya tidak , saya hanya ingin berbagi pengalaman yang kiranya dapat berguna buat diri saya sendiri maupun pembaca sekalian . Sekalgius juga buat penyemangat . Bahwa saya , dan apa yang sedang saya perjuangkan sekarang , masih belum selesai . Cerita ini bermula dari awal masuk kuliah. Seperti mahasiswa baru pada umumnya. Mereka pasti akan memilih banyak organisasi untuk diikuti. Tertarik, ikut. Diajak teman, ikut. Lihat pamflet keren, ikut. Saya pun jadi salah satu yang melakukan itu. Sekitar lima organisasi saya ikuti. Tentu saja, pilihan yang saya ambil sesuai hati nurani dan keinginan. Saya dari dulu nggak pernah suka dengan pemaksaan. Perjalanan setelah itu aman-aman saja. Saya ikut kegiatan, berkenalan dengan teman-teman lintas jurusan, jadi panitia sebuah acara, dan lain sebagainya. Saya antusias sekali. Banyak hal baru yang saya dapatkan & tidak didapatkan saat SMA dulu. Karen

Wafiq Zuhair dan Mimpi-mimpinya

"Fiq, kamu cocok deh jadi penulis.." "Tulisanmu bagus. Kadang suka ngena di hati.." "Nilai bahasamu selalu baik. Bukankah itu pertanda?" Oke. Stop. Beberapa tahun yang lalu seringkali mendapatkan kata-kata seperti ini. Tepatnya di masa SMA. Memang saya terkenal paling jago merangkai kata. Jika ada lomba puisi atau tugas membuat cerita saya dijadikan tumbal. Walaupun pada akhirnya bukan saya yang membacakan puisi itu di depan. Yeah, setidaknya ada rasa bangga sedikit, padahal hanya lingkup satu kelas berisikan 22 orang siswa. Benar kata orang. Waktu dapat menggeruskan impian seseorang. Itu kenapa ketika kecil dulu semangat sekali mengacungkan tangan. Berteriak dengan begitu meyakinkan. "Aku mau jadi polisi..!!" "Aku pengen jadi pilott..!!" "Besok besar aku jadi dokter aja, biar bisa bantu banyak orang..!" Dan masih banyak lagi. Seiring usia bertumbuh, seiring mata yang semakin memahami realitas kehidupan. Impian-impia

Muslim United : Greget Maksimal..!

Masjid Gedhe Kauman tumpah! Lautan manusia dari berbagai latar belakang memenuhi setiap sudutnya. Ada yang celananya cingkrang, celana jeans, dari yang jenggot tebal sampai yang tipis, berpeci, bersorban, berbatik, ataupun bersarung. Semuanya ada di sini. Masjid yang terletak di jantung Kota Jogja itu tidak besar sebenarnya. Namun memiliki halaman yang cukup luas di timur dan utaranya. Semuanya benar-benar penuh. Tidak ada tempat kosong tersisa. Yang di luar duduk takzim dengan alasnya masing-masing. Bahkan banyak  juga yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, padahal di halamannya! Ada acara apa? Konser musik? Tentu saja bukan. Kampanye politik? Apalagi, bukan juga Mereka disatukan oleh Allah di tempat itu. Disatukan oleh iman dan rasa persatuan yang tinggi. Bayangkan saja, ada yang jauh-jauh dari luar Jogja, Bekasi, Jawa Timur, Luar Jawa. Mereka tidak dibayar, juga tidak mendapat nasi bungkus gratis. Tapi islam menyatukan mereka. Tapi keinginan untuk bersatu mengikat hati m

Negeri Di Tepi Jurang

Oke, sengaja saya lanjutkan di sini dengan berbagai pertimbangan. Bilang aja biar blognya banyak pengunjung :) Itu juga sih. Hehe. Tapi selain itu, menulis di blog bisa lebih lepas dan bebas. Nggak terbebani dengan space tulisan yang terbatas (di instastory) karena pembahasan kali ini mungkin agak sensitif dan berat. Oke, kita lanjut ya.. Jadi, ceritanya saya mendapat kesempatan magang di Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) Yogyakarta. YLPA itu bukan milik pemerintah. Tapi dalam kerjanya banyak dibantu KEMENSOS dan pemerintah daerah. Udah cukup terkenal lah. Walaupun di Jogja banyak lembaga semacam ini tapi YLPA selalu jadi yang terdepan dalam menyelesaikan berbagai macam kasus. Hampir setiap bulan ada kasus baru. Baru beberapa hari masuk, saya sudah diminta melakukan pendampingan ABH (Anak Berhadapan Hukum) di salah satu lembaga sosial. ABH itu anak-anak dan remaja yang sedang menunggu proses hukum/persidangan. Hati saya dag-dig-dug ser menunggu. Mereka bukan anak semb

Psikologi Memilih : Siapa Lebih Unggul

Gelaran pemilihan umum mahasiswa Psikologi tinggal menghitung hari lagi . Saya agak kecewa karena tidak bisa membersamai prosesnya dari awal hingga akhir . Namun biar bagaimanapun estafet kepemimpinan harus tetap berlanjut . Tulisan ini bukan ingin menyudutkan siapapun atau mengunggulkan siapapun . Murni pendapat saya pribadi . Semoga dapat membantu :)) Timbulnya Rasa 'Greget ' Jujur, saya bangga sekaligus terharu melihat kondisi mahasiswa Psikologi yang sekarang. Potensi-potensi mereka, keaktifan mereka, semangat mereka untuk aktif dan kontributif. Sungguh, meningkatnya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Saya gregetan, jadi ikut bersemangat. Saya yakin, siapapun yang terpilih, entah itu DPM, BEM, atau Himpunan. Sama-sama dapat menjadikan psikologi lebih unggul lagi ke depannya. Saya merasa, kita terkadang membawa problematika politik in the real life ke dunia politik praktis kita. Ada oposisi yang senantiasa mengkritik serta mengham

Trivia Yogyakarta I : Layak Jadi Kota Pelajar?

"Ada 106 perguruan tinggi di Yogyakarta . Masing - masing terdiri dari universitas , institut , sekolah tinggi , dan lain-lain. Tidak heran kota ini dijuluki sebagai Kota Pelajar karena sudah menjadi destinasi favorit dari para pelajar se-antero nusantara . Mirisnya , dari 1400 kasus 20 % nya adalah kasus kekerasan seksual (Data Statistik YLPA ). Masih layakkah mendapat gelar itu..?" "Kemarin saya dapat kabar, ada seorang mahasiswi asal luar daerah yang melahirkan di puskesmas.." Kata Pak Nyadi mulai bercerita. Saya tercengang, posisinya berati sama seperti saya. Mahasiswa yang kuliah di kampung orang. Pak Nyadi adalah salah satu penanggung jawab layanan sosial di YLPA, tempat saya magang. Beliau hanya lulusan SMA. Tapi pengalaman dan jam terbang jangan ditanya. Beliau langganan jadi relawan NGO Internasional. Seperti UNICEF, juga lembaga pemerintah yang bergerak bidang perempuan dan anak. Beliau sering menjadi trainer di berbagai se

Catatan Kekecewaan

"Jadi, berapa kali hidupmu disetir paksa ke arah kanan? Atau kiri? Atau dibanting ke atas? Ke arah yang tidak kamu inginkan?.." Bumi ini memang serba misterius. Satu detik saja di depan masih menjadi pertanyaan. Bahkan prediksi canggih pun seringkali meleset. Satu detik ke depan. Ada satu orang mati. Satu orang lain kehilangan orang yang ia sayang. Satu orang terjatuh dari lantai empat. Satu orang mendadak miskin. Satu orang catat kakinya tiba-tiba. Bumi ini juga kejam. Baru juga kemarin asyik ngobrol bersama keluarga sambil ngeteh di ruang tengah yang mewah. Besok tanah sudah diguncang dahsyat. Semua anggota jadi korban. Jangankan ruang tengah. Satu rumah itu rata dengan tanah. Tak perlu jauh-jauh. Berangkat dari hal yang sederhana saja. Nah, kebetulan saya  jadi korbannya. Korban dipaksa berganti arah oleh kehidupan. Pertama, adalah tidak ikutnya saya di event internasional. Bukan karena nggak mau, tapi di PHP oleh yang mengajak,  dan sewajarnya orang kebanyakan, saya

Komit-Man

Berjuang untuk hidup salah satunya adalah dia yang punya komitmen. Yaitu sebuah ikatan kontrak tanpa legalitas yang mengharuskan seseorang unuk berbuat seprofessional mungkin. Akhir-akhir ini komitmen saya benar-benar diuji. Banyak godaan, banyak pilihan, semuanya datang bagai durian runtuh. Sekali jatuh langsung membuat kepala pening. Bingung. Akhirnya, pengalaman mengajarkan saya bahwa apapun keputusan yang diambil. Walaupun itu berat, walaupun tetap ada keraguan sedikt, tetap harus dijalani hingga selesai. Ya, tahu kok tawarannya benar-benar menggiurkan dan suit untuk ditolak. Tapi beginilah saya. Terlalu banyakt pikiran ke depan. Jadi saya putuskan untuk tidak ambil karena sebeumnya sudah janji di pernikaahan orang,Komitmen di ata komitmen. Harus begitu

Kompleksitas Versi 2.0 : Sunda Versus Betawi

Beberapa hari yang lalu saya mendapat teman diskusi tentang tulisan saya yang judulnya 'Kompleksitas Dua Keluarga'. Pembahasannya begitu seru sampai timbul pikiran untuk melanjutkan kembali tulisan itu. Tentu saja dengan sudut pandang keluarga yang berbeda. Kali ini mengenai blasteran sunda berkolaborasi dengan betawi. Dua keluarga saya sama sama dari Jawa. Jadi masalah yang timbul mungkin agak sedikit ringan jika dilihat dari aspek suku. Nah, bagaimana jika dua suku dengan sifat berbeda bertemu? Mari kita simak bersama. Suku sunda, sebagaimana umumnya, dikenal sebagai orang yang lembut, welas asih (kalo kata orang jawa), dan suka memendam perasaan. Mereka lebih memilih diam daripada berterus terang, jikapun terpaksa jujur maka bahasa yang digunakan juga dipilih dengan baik dan tidak asal. Sebaliknya, suku betawi sangat bersebrangan dengan itu semua. Mereka dikenal suka 'nyablak' (ngomong langsung) tanpa ada tendeng aling-aling. Jika tidak suka ya bilang tidak suka.

Hakikat Kemenangan

Pemilu serentak sudah berlalu satu hari yang lalu, namun atmosfernya diprediksi bakal terus dirasakan hingga satu atau dua minggu ke depan, atau bahkan hingga pilpres berlangsung. Hasil quick count sedikit banyak menggambarkan siapa-siapa saja yang menang. Ada kelegaan hati gara-gara paslon yang didukungnya menang, ada juga kekecewaan yang mendalam akibat kalah dari lawan. Bertahun-tahun berlalu, belum pernah menang mendominasi khususnya di jawa (sebagai basis pemilihan terbesar), kalah dalam putarn pilpres satu periode lalu, namun kenapa masih terus saja berusaha keras? Nggak kapok? Nggak takut kalah lagi? Orang yang berpikir seperti belum memahami prinsipnya. Kewajiban kita hanya berjuang sekuat tenaga, berusaha maksimal sambil diiringi doa, urusan kemenangan biar Allah yang menentukan. Sama seperti menjadi seorang atlet lari, ketika dia berniat jadi juara, dia nggak mikir bagaimana caranya, tapi fokus di latihan, latihan, dan latihan. Biar juara yang akan mendatanginya sendiri.

Kompleksitas Dua Keluarga

Ramadhan sudah lewat sejak lima hari yang lalu. Syawal pun datang dengan segala pesonanya. Sunnah puasa yang dijanjikan satu tahun pahalanya, dan tentu saja, undangan pernikahan. Bulan ini selalu identik dengan nikah. Ada satu teman saya yang akan mengakhiri masa lajangnya beberapa hari yang akan datang. Nggak banyak sih, cuman satu. Hanya saja karena ini at the first time teman seangkatan SMP ada yang nikah (malah udah dibuat pialanya juga :v). Jadi yang lain ikut heboh semua. Oke, tapi kali ini saya nggak akan bahas kehebohan tersebut. Ada hal lain yang nggak kalah menarik untuk dibahas. Yaitu bertemunya 'dua keluarga'. Orang bilang nikah itu enak. Hmm, saya nggak mungkin bisa jawab. Kan belum merasakan. Hehe. Jadi nggak tahu. Tapi begitu pendapat secara umum. Makan ada yang nemenin, lah. Jalan nggak sendiri, lah. Kalau kondangan ada gandengan, lah. Dan lain sebagainya. Jawaban yang klise. Biasanya ini diyakini oleh sebagian besar kaum remaja awal yang punya tingkat ke-lab

Celah Tak Dianggap

" Between stimulus and response, there is a space. In that space is our power to choose our response. In our response lies our growth and our freedom ." ~ First Think First Antara stimulus & respon, ada satu celah yang ada, yaitu kekuatan untuk memilih respon apa yang akan dihasilkan nantinya. Hukum sebab-akibat, kebanyakan dijadikan alasan untuk pembenaran atas semua yang terjadi. "Gua enggak bisa, makanya IP di bawah 2.5 mulu. Gara-gara ga pernah belajar." "Susah banget jadi orang kaya. Nggak ada modal, susah cari relasi, nggak kreatif aku orangnya.." Stimulus adalah apa yang kita dapatkan, sedangkan respon adalah balasan atas stimulus tersebut. Apa yang kita lakukan setelah mendapatkannya. Contohnya ada orang di pinggir jalan terkena cipratan air akibat mobil lewat, dia langsung mengumpat. Atau, ada anak dipukul temannya, dia balas memukul. Ada stimulus. Ada respon. Itu yang kita tahu selama ini. Padahal, ada satu yang masih terlewat. Yaitu

Catatan Seorang Relawan : Menjadi Baik Itu Baik

Life is unpredictable! Jangankan bencana, apa yang akan terjadi satu detik ke depan pun kita tidak tahu. Semuanya seolah menjadi misteri, atau suratan yang hanya dimengerti Sang Ilahi Rabbi. Seperti sore itu, sungai di pinggiran Kota Dompu bergejolak. Tak mampu menahan curah hujan tinggi. Aliran mendadak deras, seperti ular kelaparan mengejar mangsa. Gemuruh yang didengar warga bantaran sungai ternyata mimpi buruk bagi mereka. Tanggul pembatas pun jebol karena terus ditekan. 'Ular besar coklat' itu kini bisa masuk dengan cepat menenggelamkan apa saja. Tengah malam air memang sudah surut, tapi dampak setelah itu sungguh menyedihkan. Lumpur memenuhi setiap jengkal rumah sejumlah warga, jalanan, juga TK, SD, dan TPQ. Tidak sedikit bangunan yang rusak, kaca yang hilang, perabot yang entah pergi ke mana. Semua terjadi dalam rentang waktu yang cepat & tak terduga. Hati seketika terketuk, doa dilangitkan, dzikir dipanjatkan di sela-sela kesibukan, berharap agar Allah memberi

Mental Komparatif

Seorang mahasiswa tengah semester sebut saja Bedul, mengeluhkan tentang kondisinya saat ini. Ia curhat kepada kawan dekatnya, Sam. "Sam, gua lagi galau nih." "Kenapa, Dul?" "Kemarin kan abis maen di kampusnya temen. Gila, Sam! Keren banget. Beda lah sama kampus kita." "Oya? Perasaan udah bagus deh kampus kita." "Bagus apanya. Jauhh, Sam jauh. Kampus dia itu ya. Perpustakaannya gedhee banget. Fasilitasnya lengkap. Ada Lapangan Futsalnya, kolam renang, GOR. Mahasiswa nya juga kece-kece. Keliatan pinter-pinter dan borju. Gua jadi nyesel, deh kuliah di sini." "........" --------------------------------------------------------- Tidak dapat dipungkiri. Kita sering melakukan hal yang serupa. Suka membanding-bandingkan. Kalau pun tidak di lisan yaa di dalam hati. Melihat temannya berprestasi, timbul sangsi diri 'kok aku beda ya sama dia', 'kok aku lebih payah ya dari dia'.Melihat temannya banyak teman, timbul

Jogja Air Show 2018 : Lets Fly Higher

Sinopsis Jika berhitung tentang resiko ketidakpastian, 'melayang' di udara adalah yang paling besar bahayanya. Seperti pagi itu, angin berhembus lebih kencang sedikit saja, skydiving yang rencananya akan menghiasi langit Depok Airstrip tidak jadi terjun alias dibatalkan. Penonton tentu kecewa, tapi yang namanya keselamatan tetap menjadi prioritas nomor satu. Bisa bisa nanti para skydiver-nya mendarat di laut kan nggak lucu. Apalagi waktu itu ombak Pantai Selatan sedang besar-besarnya. Bandingkan jika naik bis atau kendaraan darat lainnya. Mau itu angin kencang, hujan badai, gerimis manja, tetap saja jalan. Ini adalah pengalaman pertama saya lihat Air Show. Sebenernya sama sekali nggak ada rencana, tapi gara-gara beberapa ketidaksengajaan membuat saya ditakdirkan berjodoh ikut acara ini (eh?). Awalnya (cuman) ingin pulang sebentar, tiba-tiba ada Budhe yang jauh-jauh datang dari Bandung hanya untuk lihat acara itu, terketuklah hati keponakan yang baik ini untuk menemani (baca :

Menakar Idealisme

"Mahasiswa harus bisa menjaga independensinya! Jangan sampai ditunggangi oleh kepentingan politik atau apapun!" Begitu kata salah satu presenter kondang yang kali ini telah bermanuver ke tivi sebelah. Akhir-akhir ini ramai sekali di media gonjang ganjing tentang sesuatu yang agak menggelitik. Kartu berwarna warni atau apalah itu  namanya. Hebat memang. Selamat datang di negeri yang sukanya meributkan hal-hal kecil seperti itu. Bukan ingin mencari pembenaran atau mengkambinghitamkan kesalahan. Yakin saja pro kontra terkait hal ini tidak akan pernai usai. Dari berbagai perbedaan perspektif & sudut pandang. Mana yang lebih benar? Semuanya benar. Karena pasti masing-masing punya alasan berdasar. Masalahnya adalah, popularitas selalu menjadi makanan yang seperti tidak pernah ada habisnya dibahas. Tidak salah sih, namun terlalu banyaknya pembahasan ke arah sana justru membuat kita melupakan substansinya. Mahasiswa harus bergerak! Terlepas dari bagaimana metode & teknis