Langsung ke konten utama

Melawan Hujan

Bantul (05.18 WIB)

Air yang jatuh dari langit perlahan mengendurkan intensitasnya. Jika saat ini langit tersibak cahaya, mungkin akan terlihat awan hitam yang menggumpal. Sayangnya hari masih begitu pagi untuk itu.

Ini adalah hari bersejarah buat saya. Saya untuk pertama kalinya akan melakukan solo riding terjauh yang pernah saya lakukan. Seorang diri (dan bersama motor tentunya) menyebrangi puluhan kecamatan, belasan kabupaten, dan dua-tiga pulau.

Sebenenarnya saya sudah sedari dulu memimpikan perjalanan ini. Tapi sekarang baru terealisasi. Saya sungguh excited sekali! Tidak sabar segera melanjutkan perjalanan.

Mungkin benar kata orang. Lingkungan dapat merubah sempurna persepsi kita. Sebagian teman dan keluarga saya terkaget-kaget, setengah tidak percaya.

"Hah? Serius? Jauhh sekali.."

"Yang bener kamu? Itu gak gampang lho, apalagi lagi musim hujan sekarang.."

Dan masih banyak yang lain. Namun keraguan saya cepat hilang. Kenapa? Karena itu bukanlah sesuatu yang mustahil di kalangan kita, anak rantau. Sudah menjadi satu hal yang biasa-biasa saja. Lumrah untuk dilakukan.

Teman-teman saya lebih luar biasa lagi. Pernah seorang diri mengendarai motor dari Sumatera, berminggu-minggu perjalanan. Tak terhitung berapa yang touring dari Bekasi, Tangerang, Jakarta, Bogor, Purwokerto, Madiun untuk menuju tempat yang saya tuju itu. Ada yang bahkan naik vespa! Berhenti setiap beberapa jam sekali.

Jadi, pendapat tentang kemustahilan itu sudah sirna dari diri saya. Self-worth dari faktor eksternal begitu memukul-mukul sanubari.

"Kalau mereka bisa. Kenapa kamu enggak?"

"Jika mereka mampu? Apa yang kamu khawatirkan?"

Maka perjalanan kali ini adalah pembuktian buat diri sendiri bahwa saya juga bisa melakukannya. Saya tidak ingin jemawa atau menyombongkan diri. Karena menurut saya ini bukan sesuatu yang besar. Saya hanya meyakini satu hal, selalu ada pelajaran-pelajaran baru setiap perjalanan apapun itu. Dan jalur darat selalu punya porsi lebih dibandingkan jalur jalur lain. Itu yang mendorong saya untuk akan terus menulis sepanjang perjalanan.

Oiya, terlalu panjang ya intronya. Hehe. Tidak relevan dengan judul di atas nih ya 😂

Intinya saya memang benar-benar melawan hujan. Awan bermuatan air puluhan liter akan tumpah menemai perjalanan saya ratusan mil di depan. Berkah sekali, bukan? Sekaligus juga tantangan yang harus selalu saya persiapkan.

Pagi ini sekitar jam 7 saya akan menuju Surabaya. Lewat jalur tengah (Solo, Ngawi, Madiun, dst). Bukan jalur paling cepat sebenarnya, tapi itulah yang saya paling hafal jalannya (berkat sering naik bis legendaris sekaligus tercepat se pulau jawa, bus sumber).

Saya cukupkan sampai sini dulu. Dilanjut nanti setiap pemberhentian. Bye 🙂

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak