Langsung ke konten utama

A Fairytale Love (Bagian Kedua)

Di tengah langit Ciburuy yang mendung, dingin menyelimuti sebagian Bandung Barat. Rumah ekstra luas beraksen jadul dengan taman indah di belakangnya. Pot bunga menggantung dan rumput hijau sejauh mata memandang.

"Jadi, gimana ceritanya teh?" 

Belum beristirahat sejak perjalanan setengah hari Jogja-Bandung, pertanyaan itu terlontar begitu saja. Seperti biasa, sesosok perempuan dengan raut wajah menyenangkan itu tersenyum sebelum menjawab.

"Wah, mulai diinterogasi nih.." Balasnya.

"Jelass dong. Kan jauh-jauh cuma pengen tau ceritanya..hehe.." 

"Yaudah, sok atuh tanya.." 

Teteh memang begitu. Hampir selalu mengulum senyum setiap kali melakukan percakapan. Kakak sepupu paling besar itu bisa dibilang yang paling enak diajak ngobrol. Soalnya sepupu-sepupu yang lain masih pada kecil-kecil, jadi gak bakal nyambung deh. Kecuali kalau main lah iya, baru nyambung.

"Kapan mulai kenal si doi?" 

"5 tahun yang lalu. Dtulu kan ada kepanitiaan ramadhan di Salman gitu. Nah kebetulan teteh anggota dan si doi itu ketuanya.." 

Ohh, cinta bersemi karena kepanitiaan. Sudah beberapa kali mendengarnya sih.

"Terus habis itu sering ketemu? Atau ngechat gitu?" 

Teteh menggeleng. 

"Ha..?" Aku menatapnya lekat-lekat. Meminta keyakinan atas jawabannya.

"Nggak sama sekali. Terakhir ketemu ya pas itu doang. Teteh nggak ngechat, nggak ketemu, pokoknya nggak berhubungan sama sekali.." 

Aku terdiam beberapa saat. Ini unik, sekaligus agak aneh. Bagaimana ceritanya 5 tahun tanpa kejadian apapun dan ujug-ujug (tiba-tiba, bhs jawa : red) datang melamar ?

"Teteh juga gak tahu, Fiq. Jadi si doi itu hubungi temannya teteh. Terus nanyain teteh udah ada yang khitbah atau mau berproses belum? Teteh jawab aja belum. Yaudah akhirnya berproses deh, taaruf, tukeran CV, dan segala macam. Dan ini hasilnya.." 

Menarik sih ini. Si doinya mungkin sudah memendam rasa kali ya? Tapi 5 tahun bukan waktu yang sebentar. Bagaimana bisa ia yakin kalau si teteh yang (mungkin) ia kagumi sebelumnya tidak berubah ?  

Teteh bukannya tidak ada yang mendatangi. Sebagai seorang musyrifah di salah satu pesantren di Jawa Barat. Beberapa kali ada yang datang ingin berproses, atau sekedar menanyakan. Tapi teteh berdalih jika ingin menyelesaikan kontrak kerjanya dulu, sekitar setengah tahun lagi. Jadi semuanya ditolak. Padahal ada pula yang rela menunggu hingga waktu itu. Namun tetap saja ditolak. Teteh tidak mau membuat siapapun menunggu. 

Nah ketika tawaran dari si doi ini datang, alasan tersebut tiba-tiba berubah jadi keyakinan. Seperti ada yang menguatkan hati teteh dan membisikkan "Jodohmu sudah datang, hayuk disegerakan!"

Kedatangan ke Bandung kali ini adalah untuk menghadiri hari bahagia teteh. Sungguh tidak menyangka! Teteh bisa punya kisah cinta yang begitu indah. Walau sederhana dan tidak mengharu biru, tapi penuh keberkahan di dalam setiap prosesnya. 

Sekali lagi. Tidak ada yang bisa mendefinisikan secara pasti bagaimana tolak ukur 'jodoh seseorang'. 

Tidak bisa hanya sekedar 'si ganteng' harus sama 'si cantik'. 'Si putih' harus sama 'si putih'. 'Si kaya' harus sama 'si kaya' juga. Jodoh tidak sesinetron itu, tidak semudah itu seperti yang biasa diceritakan di novel-novel roman pasaran. 

Satu hal yang aku ambil dari teteh. Selama jangka waktu itu teteh sama sekali tidak pernah mencintai siapapun. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Teteh sibuk berbenah, menyiapkan diri, sibuk memulai karir, sehingga ketika Sang Pangeran tiba-tiba datang menjemput, dia sudah siap untuk dibawa pergi, bersama-sama menjalani ibadah terpanjang di dunia hingga ke surga-Nya. 

--------------------------------------------------------
Menulis kisah-kisah seperti ini. Bukan berarti penulis ingin cepat-cepat nikah (jadi jangan tanya kapan, oke!). 

Bahwa, banyak hal di dunia ini, yang harus kita lakukan, untuk bersiap menjemput dan dijemput. Karena tentunya, kita sama-sama setuju. Sang Putri tentu menginginkan dijemput oleh Sang Pangeran dengan wujud yang terbaik. Begitu pula sebaliknya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak