Di tengah langit Ciburuy yang mendung, dingin menyelimuti sebagian Bandung Barat. Rumah ekstra luas beraksen jadul dengan taman indah di belakangnya. Pot bunga menggantung dan rumput hijau sejauh mata memandang.
"Jadi, gimana ceritanya teh?"
Belum beristirahat sejak perjalanan setengah hari Jogja-Bandung, pertanyaan itu terlontar begitu saja. Seperti biasa, sesosok perempuan dengan raut wajah menyenangkan itu tersenyum sebelum menjawab.
"Wah, mulai diinterogasi nih.." Balasnya.
"Jelass dong. Kan jauh-jauh cuma pengen tau ceritanya..hehe.."
"Yaudah, sok atuh tanya.."
Teteh memang begitu. Hampir selalu mengulum senyum setiap kali melakukan percakapan. Kakak sepupu paling besar itu bisa dibilang yang paling enak diajak ngobrol. Soalnya sepupu-sepupu yang lain masih pada kecil-kecil, jadi gak bakal nyambung deh. Kecuali kalau main lah iya, baru nyambung.
"Kapan mulai kenal si doi?"
"5 tahun yang lalu. Dtulu kan ada kepanitiaan ramadhan di Salman gitu. Nah kebetulan teteh anggota dan si doi itu ketuanya.."
Ohh, cinta bersemi karena kepanitiaan. Sudah beberapa kali mendengarnya sih.
"Terus habis itu sering ketemu? Atau ngechat gitu?"
Teteh menggeleng.
"Ha..?" Aku menatapnya lekat-lekat. Meminta keyakinan atas jawabannya.
"Nggak sama sekali. Terakhir ketemu ya pas itu doang. Teteh nggak ngechat, nggak ketemu, pokoknya nggak berhubungan sama sekali.."
Aku terdiam beberapa saat. Ini unik, sekaligus agak aneh. Bagaimana ceritanya 5 tahun tanpa kejadian apapun dan ujug-ujug (tiba-tiba, bhs jawa : red) datang melamar ?
"Teteh juga gak tahu, Fiq. Jadi si doi itu hubungi temannya teteh. Terus nanyain teteh udah ada yang khitbah atau mau berproses belum? Teteh jawab aja belum. Yaudah akhirnya berproses deh, taaruf, tukeran CV, dan segala macam. Dan ini hasilnya.."
Menarik sih ini. Si doinya mungkin sudah memendam rasa kali ya? Tapi 5 tahun bukan waktu yang sebentar. Bagaimana bisa ia yakin kalau si teteh yang (mungkin) ia kagumi sebelumnya tidak berubah ?
Teteh bukannya tidak ada yang mendatangi. Sebagai seorang musyrifah di salah satu pesantren di Jawa Barat. Beberapa kali ada yang datang ingin berproses, atau sekedar menanyakan. Tapi teteh berdalih jika ingin menyelesaikan kontrak kerjanya dulu, sekitar setengah tahun lagi. Jadi semuanya ditolak. Padahal ada pula yang rela menunggu hingga waktu itu. Namun tetap saja ditolak. Teteh tidak mau membuat siapapun menunggu.
Nah ketika tawaran dari si doi ini datang, alasan tersebut tiba-tiba berubah jadi keyakinan. Seperti ada yang menguatkan hati teteh dan membisikkan "Jodohmu sudah datang, hayuk disegerakan!"
Kedatangan ke Bandung kali ini adalah untuk menghadiri hari bahagia teteh. Sungguh tidak menyangka! Teteh bisa punya kisah cinta yang begitu indah. Walau sederhana dan tidak mengharu biru, tapi penuh keberkahan di dalam setiap prosesnya.
Sekali lagi. Tidak ada yang bisa mendefinisikan secara pasti bagaimana tolak ukur 'jodoh seseorang'.
Tidak bisa hanya sekedar 'si ganteng' harus sama 'si cantik'. 'Si putih' harus sama 'si putih'. 'Si kaya' harus sama 'si kaya' juga. Jodoh tidak sesinetron itu, tidak semudah itu seperti yang biasa diceritakan di novel-novel roman pasaran.
Satu hal yang aku ambil dari teteh. Selama jangka waktu itu teteh sama sekali tidak pernah mencintai siapapun. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Teteh sibuk berbenah, menyiapkan diri, sibuk memulai karir, sehingga ketika Sang Pangeran tiba-tiba datang menjemput, dia sudah siap untuk dibawa pergi, bersama-sama menjalani ibadah terpanjang di dunia hingga ke surga-Nya.
--------------------------------------------------------
Menulis kisah-kisah seperti ini. Bukan berarti penulis ingin cepat-cepat nikah (jadi jangan tanya kapan, oke!).
Bahwa, banyak hal di dunia ini, yang harus kita lakukan, untuk bersiap menjemput dan dijemput. Karena tentunya, kita sama-sama setuju. Sang Putri tentu menginginkan dijemput oleh Sang Pangeran dengan wujud yang terbaik. Begitu pula sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar