Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Saya Benci Politik

Ada kalimat menarik yang tidak sengaja saya dengar akhir-akhir ini.. "Kok zaman sekarang serba aneh ya. Apa-apa jadi rame, apa-apa dikomentarin. Perasaan dulu gak gini deh.." Jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Rasa-rasanya dunia internet memang belum seramai sekarang. Orang masih jarang berselancar di dunia maya. Belum banyak yang bermain twitter, facebook, apalagi instagram. Arus globalisasi, internet yang semakin menguat, pengguna media sosial yang semakin menggeliat berdampak lurus pada satu kebiasaan yang mengakar kuat dalam diri penduduk Indonesia dewasa ini, khususnya netizen Indonesia, yaitu "Budaya Berkomentar". Belum hilang di ingatan saya ketika ada salah satu teman yang menjadi pendamping (biasa dikenal sebagai LO) di sebuah acara internasional di mana pesertanya berasal dari seluruh negara Asia Tenggara. " Orang Indonesia itu paling bawel, kerjaannya kritik sama ngasih saran mulu. Makanannya kurang lah, acaranya gak seru lah. Padaha

Melawan Kemustahilan III : Berjodoh dengan Takdir

Allah seperti membiarkan kami untuk terus berdoa dan berikhtiar, kemudian baru membuka kran berisi kemudahan dan kelancaran rezeki. Satu per satu bantuan berdatangan setelah itu. Mulai dari donasi berupa pakaian muslimah, hijab, mukena, hingga berupa dana. Artis sudah didapatkan, tiket berangkat untuk dua orang juga sudah dipesan. Saya akhirnya bisa bersantai karena hampir semua masalah selesai. Tinggal memastikan progress selanjutnya berjalan lancar. Di hari yang dinanti-nanti, masalah kembali muncul. Tiket untuk kepulangan sudah habis! Saya mengecek beberapa kali di traveloka, juga aplikasi tiket yang lain hasilnya sama-sama nihil! Sebagai informasi, kami memang sengaja mengakhirkan pembelian tiket pulang karena dananya belum mencukupi. Begitu dana sudah didapat ternyata terlambat. Tiket habis, bagaimana lah ini?? Tanpa diperintahkan lagi saya bersegera menuju bandara, kencang saya pacu motor berharap semoga masih ada tiket terisa. Jika tidak ada matilah kami. Sementara si arti

Melawan Kemustahilan II : Malam Penuh Keajaiban

Dua minggu sebelum acara dimulai, sekaligus juga hari-hari paling genting untuk menyiapkan segalanya. Banyak yang bertanya. Acara jadi tidak? Kok nggak pernah ada progress? Kok dana segini gini aja? Dan nada-nada sumbang lainnya bermunculan. Tidak kaget karena memang begitulah faktanya. Belum ada perkembangan yang signifikan. Dana walaupun sudah berada di angka satu jutaan tetap saja masih jauh dari kata cukup. Artis juga tidak ada progress berarti. Rata-rata tidak memberikan respon, ada juga yang belum menerima job di luar kota. Atau lagi-lagi memberikan informasi biaya yang begitu menyakitkan mata. Mahal sekali fee nya. Di ambang rasa inferior yang semakin meninggi, saya bertemu dengan beberapa orang pada satu malam beberapa hari menjelang hari h. Berbagi keluhan. Saat itu memang butuh untuk saling mendengarkan, sekaligus juga saling menguatkan. Saya menceritakan semua hal yang saya rasakan selama mencari artis. Sekaligus menyatakan batas kemampuan saya. Saya menyerah, tidak tah

Melawan Kemustahilan I : Artis Tak Dibayar

Kendala yang dialami di seluruh kegiatan yang akan dilakukan hampir sama. Dana. Tanpa adanya finansial yang kuat maka sebagus apapun konsep yang dibuat jadinya percuma. Sebaliknya, jika dana mencukupi atau bahkan berlebih semuanya akan dapat terkontrol dengan baik. Mengawali diri untuk masuk ke dalam suatu kegiatan tanpa sepeserpun uang sudah biasa. Apalagi di sumbawa. Tidak mudah mendapatkan sponsor di kota kecil seperti ini. Bukannya pelit atau miskin, rata-rata kantor di sini adalah cabang yang pusatnya berada jauh di ibukota provinsi sana. Prosedurnya tentu berliku dan butuh waktu yang cukup lama juga. Di tengah skripsi yang belum kunjung usai saya nekat mengikuti kepanitiaan di satu kegiatan yang skalanya cukup besar. Sumbawa Hijab Festival. Awalnya saya ragu, tapi entah kenapa keinginan dari hati begitu kuat mendesak. "Kamu jarang lho bantu-bantu acara dakwah di sini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Tahun depan udah pergi, kan?" Begitu bisikan-bisikin yang pada

Redupnya Kekuatan Sendiri

Keinginan yang terus bertumbuh menjadikan seorang manusia tidak akan pernah puas dalam menilai dirinya. Selalu ada hal-hal baru, ekspektasi-ekspektasi baru yang datang menghampirinya apabila sudah usai pencapaian sebelumnya. Dunia ekstrovert memang begitu melelahkan, tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada para pendiam untuk sejenak berkontemplasi dengan dirinya sendiri. Ekstroversi berhimpun dalam satuan bernama pendaftaran kepanitiaan, keikutsertaan organisasi, persepsi positif lingkungan, dan syarat menjadi pemimpin. Tidak aneh jika di dunia ini kehilangan sosok-sosok hebat seperti Albert Einsten, Steve Jobs, Wozniacki, J.K. Rowling dan pemikir sekaligus inisiator lainnya. Jika yang hebat dulu bisa timbul, kenapa ketika kemajuan teknologi berangsur maju, justru tidak ada seorang pun yang muncul? Lubang yang digali oleh estroversi terlalu besar.Tidak hanya memberi kesempatan untuk terjatuh, tapi lubangnya juga terisi oleh lumpur sehingga akan menjebak siapapun yang sudah masuk