Langsung ke konten utama

Melawan Kemustahilan II : Malam Penuh Keajaiban

Dua minggu sebelum acara dimulai, sekaligus juga hari-hari paling genting untuk menyiapkan segalanya.

Banyak yang bertanya. Acara jadi tidak? Kok nggak pernah ada progress? Kok dana segini gini aja? Dan nada-nada sumbang lainnya bermunculan.

Tidak kaget karena memang begitulah faktanya. Belum ada perkembangan yang signifikan. Dana walaupun sudah berada di angka satu jutaan tetap saja masih jauh dari kata cukup.

Artis juga tidak ada progress berarti. Rata-rata tidak memberikan respon, ada juga yang belum menerima job di luar kota. Atau lagi-lagi memberikan informasi biaya yang begitu menyakitkan mata. Mahal sekali fee nya.

Di ambang rasa inferior yang semakin meninggi, saya bertemu dengan beberapa orang pada satu malam beberapa hari menjelang hari h. Berbagi keluhan. Saat itu memang butuh untuk saling mendengarkan, sekaligus juga saling menguatkan.

Saya menceritakan semua hal yang saya rasakan selama mencari artis. Sekaligus menyatakan batas kemampuan saya. Saya menyerah, tidak tahu lagi harus mencari ke mana.

Salah satu teman memberi masukan, beberapa ada yang sudah saya hubungi, sebagian yang lain belum. Tanpa semangat saya membuka hape dan menyimpan nomornya. Lalu langsung menghubungi managernya dengan format chat yang sudah saya buat sebelumnya (biar efektif).

Malam itu berakhir dengan hasil nihil. Saya pulang dengan hati yang belum tenang.

Saya kemudian berpikir, manusia bisa berencana. Tapi tetap ada ambang batas kemampuan. Harus realistis, melihat keadaan.

Besok paginya, saya tidak bisa lepas memikirkan bagaimana cara mencari alternatif untuk artis. Saya ini memang pemikir dalam artian yang sebenarnya. Apapun saya pikirkan, apalagi hal yang menyangkut tanggung jawab dan amanah banyak orang.

Di tengah-tengah itu saya mendapatkan chat dari manager artis yang tadi malam saya hubungi.

Bagai mendapat durian runtuh, managernya bilang jika si artis tidak mematok harga, pesawat dan hotel pun bebas yang penting nyaman saja.

Masya Allah. Entah saya tidak bisa menggambarkan ekspresi saya ketika itu. Antara senang dan terharu bukan main.

Terlepas dari saran teman saya atau obrolan kami pada malam hari itu. Saya merasa bahwa Allah telah menurunkan 'dia' untuk kami secara khusus. Saling berjodoh dengan takdir yang dimediasi Allah dengan kisah indah penuh kejutan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak