Langsung ke konten utama

Saya Benci Politik

Ada kalimat menarik yang tidak sengaja saya dengar akhir-akhir ini..

"Kok zaman sekarang serba aneh ya. Apa-apa jadi rame, apa-apa dikomentarin. Perasaan dulu gak gini deh.."

Jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Rasa-rasanya dunia internet memang belum seramai sekarang. Orang masih jarang berselancar di dunia maya. Belum banyak yang bermain twitter, facebook, apalagi instagram.

Arus globalisasi, internet yang semakin menguat, pengguna media sosial yang semakin menggeliat berdampak lurus pada satu kebiasaan yang mengakar kuat dalam diri penduduk Indonesia dewasa ini, khususnya netizen Indonesia, yaitu "Budaya Berkomentar".

Belum hilang di ingatan saya ketika ada salah satu teman yang menjadi pendamping (biasa dikenal sebagai LO) di sebuah acara internasional di mana pesertanya berasal dari seluruh negara Asia Tenggara.

"Orang Indonesia itu paling bawel, kerjaannya kritik sama ngasih saran mulu. Makanannya kurang lah, acaranya gak seru lah. Padahal mah yang dari negara lain biasa aja.."

Entah apa yang menyebabkan budaya ini mengakar begitu kuat, seperti sudah jadi branding yang mendarah daging.

Tidak jarang pula komentar-komentar ini bertransformasi menjadi satu hal yang viral, tranding nasional, dan pada akhirnya bahkan bisa sampai merubah kebijakan elit politik.

Wow, kekuatannya luar biasa sekali ternyata.

Memang, setelah dipikir-pikir. Selain turun ke jalan, mahasiswa di era millenial bisa lebih efektif menyampaikan keresahan mereka lewat jemari di atas smartphone daripada harus baku hantam di depan kantor pemerintahan.

Lagipula, media online juga memungkinkan kita untuk lebih mudah dalam mencari uang. Donasi kegiatan misalnya. Atau berbelanja lewat startup digital yang kian marak jumlahnya juga semakin membuat kehidupan jadi mudah dan tidak ribet.

Namun tetap saja, di samping kemudahan yang ditawarkan. Budaya komentar tetap tidak dapat dipisahkan dari urat nadi netizen Indonesia.

Mulai dari presiden yang salah bicara, kampanye yang dianggap tidak sehat, ujaran kebencian, pelanggaran ITE, semuanya terhimpun menjadi satu pusaran besar yang mewarnai lautan perpolitikan nasional.

Tanpa disadari, pusaran itu telah membawa orang-orangnya ke dalam bahaya besar bernama 'ketakutan untuk melakukan' , sekaligus menghancurkan etos kerja dan semangat pantang menyerah yang sebelumnya dimiliki oleh pemuda Indonesia di masa kemerdekaan.

Kenapa bisa begitu?

Orang kini lebih suka berdiam diri sambil membaca twitter (untuk memantau perkembangan politik) daripada berusaha untuk mengejar mimpi mereka.

Orang kini lebih suka saling beradu argumen tentang siapa yang lebih baik, daripada membuat rencana strategis tentang masa depan mereka.

Orang kini lebih senang saling berbalas komentar, menjudge kubu sebelah, saling beradu pendapat, melakukan pembenaran dan saling menyalahkan, daripada  mencari gagasan untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang semakin hari semakin menyedihkan di berbagai aspek kehidupan.

Budaya komentar ini sungguh berbahaya. Membuat para pemuda kita jadi malas-malasan, merasa paling hebat, punya mentalitas yang begitu rapuh seperti kerupuk alias,  "semangat ketika dipuji, jatuh ketika sedikit dicela.."

Budaya ini juga membuat pemuda kita kehilangan produktivitas, lebih merasa superior ketika berhasil menjatuhkan musuh daripada bangga karena berhasil membuat karya atau berprestasi.

Dunia politik pantas disalahkan dalam hal ini, karena membuat orang-orang yang tidak berkepentingan jadi sok merasa paling penting.

Semua orang memang wajib melek politik, harus menggunakan hak pilih mereka secara benar dan semaksimal mungkin.

Tapi jangan lupa, ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu diri kita sendiri.

Siapapun yang menang, akan menjadi sia-sia apabila masih menyibukkan diri untuk terus-terusan  mempertahankan budaya komentator. Menjadi pemain kecil, menjadi budak internet.

Jika sudah begitu, ucapkanlah selamat karena kamu sudah memberi makan kepada karyawan Facebook, petinggi Instagram, dan juga para bandar di pabrik-pabrik smartphone di China, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya yang meraup banyak keuntungan dari situ.

Terima kasih pemuda negara berflower, karena telah membantu perekonomian negara maju.

R. I. P. Kreativitas Berkarya.

Hiduplah Kreativitas Berkomentar.

Sekian dan terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak