Langsung ke konten utama

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis.

Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fakta bahwa Allah melindungi saya dengan cara selalu menempatkan saya di dalam lingkungan yang baik membuat saya berpikir banyak. Bagaimana sih idealnya? Orang akan menjawab sesuai dengan apa yang ia yakini, sesuai apa yang ia pahami, sesuai apa yang ia pelajari. Bahkan berujung ajakan agar kita dapat mengikutinya. Tentu bukan hal yang salah. Kita selalu butuh orang lain untuk istiqomah, butuh saling mengingatkan agar tidak lalai.

Sebagaimana permintaan Nabi Ibrahim untuk membuktikan bahwa Allah itu bisa membangkitkan yang mati. Allah kaget ketika ditanya seperti itu.

 'Apakah kamu tidak yakin, wahai nabi?' Tanya Allah.

Nabi Ibrahim menjawab, 'Yakin Ya Allah, namun untuk dapat lebih menguatkan hatiku maka aku meminta-Mu demikian. Yang terjadi kemudian adalah, Allah meminta Sang Nabi untuk membelah empat ekor burung dan meletakkan 'bangkai'nya di empat bukit yang berbeda.

Kun Fayakun! Ketika Nabi memanggil mereka maka burung-burung itu kembali ke hadapan Nabi. Case closed.

See? Bahkan sekelas nabi pun butuh pembuktian agar hatinya lebih tenang, agar batinnya lebih mantap. Apalagi hamba-Nya yang penuh dosa, tentu butuh lebih banyak lagi pembuktian agar lebih memantapkan keyakinannya. 

Maka malam itu, dari lisan seorang ustadz yang mulia. Di hadapan ribuan jamaah yang memadati setiap sudut Masjid Kauman. Penjelasan yang begitu sederhana, namun sarat makna.

"Saya berbicara di depan ini bukan berarti lebih punya banyak pahala dari hadirin sekalian. Bahkan jika dibandingkan dengan tukang parkir di halaman Masjid Kauman." Kata ustadz itu mengawali kisahnya. Ratusan motor memang berjejalan memadati sepanjang jalan menuju masjid. Puluhan petugas parkir berjaga di setiap sudut agar tidak berantakan.

"Karena saya ustadz, karena saya dihormati, karena saya dikenal banyak orang. Tentu sebagaimana selayaknya manusia, kemungkinan untuk riya' besar, sangat besar malah. Saya bisa menyombongkan diri karena bisa berbicara di hadapan banyak orang. Coba lihat petugas parkir, yang sama sekali tidak dikenal. Tidak mungkin dia bisa menyombongkan dirinya karena telah memarkirkan kendaraan. Tidak mungkin dia merasa riya' gara-gara itu. Tapi, justru karena keikhlasannya itulah, karena perbuatannya yang mengantarkan orang-orang sampai bisa menghadiri kajian ini dengan lancar, yang dapat mengantarkannya ke surga.."  

Jamaah seketika diam. Perumpamaan yang sederhana tapi mengena. Seperti Surat Al-Ikhlas yang tidak ada satupun kalimat 'ikhlas'. Begitu pula menilai kemurnian hati. Tanpa setitik pun noda, tanpa sedikitpun rasa ingin dipuja. Sekalinya ada, maka hilanglah semua pahala.

Menyoal banyaknya peran yang diemban, beragamnya kontribusi yang sudah dilakukan, bervariasnya amanah yang dijalankan. Semua tergantung dari sejauh mana niat keikhlasan.

Tidak peduli profesi jenis apa, jabatan setinggi apa , sibuk dalam kegiatan apa, pilihan paslon nomor berapa, masuk partai apa, terafiliasi di kelompok apa. Selama ikhlas, selama niatnya benar, selama hatinya murni tertaut tanpa ada maksud lain, selama itu pula pahala mengalir di sepanjang hidupnya.


Selamat menyapu pahala..!



Sumbawa, 27 Juni 2019

Kenapa harus selalu berada di lingkungan yang baik? Jawabannya adalah karena fluktuasi keimanan tidak bisa terselamatkan ketika orang sekitar tidak mendukung. Kenapa harus selalu berbuat baik? Karena tidak ada yang tahu hal baik mana yang diterima. 

Dari malam yang dingin di semester terakhir. Mari bersama menjemput mimpi :)


 

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat