"Laki-laki itu jangan suka memberi harapan palsu. Kasian wanitanya. Gak ada satupun wanita di dunia ini yang suka digantungin. Mereka hanya butuh kepastian. Itu saja."
Sebuah statment yang klise terdengar. Tentu saja. Baik laki-laki maupun wanita tidak ada yang mau disalahkan soal itu. Jikapun berdebat juga diprediksi tidak mungkin ada habis-habisnya. Pihak laki-laki merasa bahwa dia hanya berbuat kebaikan. Memberi perhatian, memberi hadiah, ataupun perbuatan-perbuatan menyenangkan lainnya. Mereka merasa tidak menggantungkan harapan, lalu menyalahkan wanita karena terlalu baper dalam bersikap.
Pihak wanita juga nggak mau kalah. Tetap ngotot dengan argumennya sendiri. Mereka menjelaskan bahwa wanita itu berbeda. Punya hati yang lembut dan mudah tersentuh. Sekali diberi bisa membalasnya dengan berkali-kali lebih banyak. Sekali diberi perhatian bisa sampai tujuh hari tidak melupakan. Mereka merasa jika tidak mau mendekati yasudah, tidak perlu berpanjang lebar dalam memberi perhatian. Sudahi saja.
Kita sedang tidak mencari siapa yang benar atau siapa yang salah.
Jika mundur ke belakang. Saat ini masalah virus merah jambu semakin kompleks. Jika dulu mungkin jelas. 'Oh, si A dan si B pacaran, ada statusnya, bisa dikroscek.' Sekarang lebih rumit lagi. Hubungan Tanpa Status (HTS) lebih diminati oleh sebagian besar orang. Selain dianggap 'tidak salah', cara ini juga merupakan jalan aman dalam membina hubungan. Jika sudah tidak suka ya tinggalkan, itu tidak salah karena tidak termasuk selingkuh. 'Lha kan jadian aja enggak.' Nah kalau suka ya terus dilanjutkan, sampai menemukan tambatan yang baru atau timbul rasa bosan dalam dirinya.
Lagipula, di umur yang sudah menginjak dua puluh tahunan. Pacaran bukanlah sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Hubungan serius alias menikah lebih bisa menjadi bahasan yang menarik. Kita tidak lagi mengutarakan ' i love you' dalam menjelaskan rasa, pun tidak menggunakan 'surat cinta' yang diselipkan di laci meja ketika istirahat di antara pelajaran. Jika tertarik, maka dilakukan pendekatan sedemikian rupa hingga bisa mendapatkan perhatian dari si dia.
Masalah muncul ketika perhatian yang diberikan begitu intens dan 'tidak biasa'. Bukannya ingin memihak perempuan, namun dalam hal ini menjadikan mereka akan kebingungan dalam melihat keseriusan dari si laki-laki. Boleh jadi statment klise di atas benar adanya, bahwa hati perempuan memang berbeda.
Sebagai pertimbangan, wanita adalah pihak yang dikalahkan dalam hal ini. Jika dia suka dengan seseorang, ingin menjadikannya suami, tentu tidak semudah jika laki-laki ingin menjadikan seseorang sebagai istrinya. Wanita sebagai pihak yang menunggu, yang diam menanti. walaupun dia punya hak memilih, itupun jika sebelumnya sudah ada pilihan yang datang kepadanya.
Masalahnya lagi, apapun perhatian yang diberikan, hadiah yang ia dapatkan, akan masuk ke alam bawah sadarnya dan tersimpan dalam jangka waktu yang lama. Tidak mudah hilang, tidak mudah terlupakan. Bahkan laki-laki yang tidak berniat 'memberi' saja tetap akan begitu, apalagi jika hadiah yang diberikan spesial (misal : pakaian kesukan dia) dan diberikan berulang-ulang. Maka secara tidak langsung ada harapan yang tumbuh di situ. Hatinya seperti ditanam benih-benih yang akan terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.
Bayangkan jika benih yang sudah bertumbuh itu putus di tengah jalan. Harapan yang sudah bertumpuk tiba-tiba hilang karena si laki-laki mendapatkan yang baru atau pergi begitu saja. Umumnya si wanita akan bilang 'tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Lagipula dia bukan siapa-siapaku kok'. Tapi setengah hatinya yang lainnya menangis.
Apakah laki-laki pantas disalahkan?
Mari tarik lagi ke belakang. Laki-laki yang belum siap menikah (entah karena alasan apapun), dan dia tertarik dengan seseorang. Maka akan mengusahakan segala macam cara agar bisa mengikat hatinya. Loh? Kok bisa? Iya, lha kan belum bisa mengikat secara permanen. Sementara keinginan sudah menggebu-gebu dan bisa jadi takut direbut orang lain. Maka, memberi perhatian adalah cara 'melamar sementara' yang paling mudah dan terkesan 'tidak salah' (daripada mengarah ke hal-hal negatif seperti zina dan lain sebagainya).
Mereka ingin agar orang lain tahu, secara tidak langsung, bahwa 'she is mine!', atau 'dia milikku!' sehingga ketika yang lain ingin mendekati, temannya akan bilang 'eh jangan, dia tuh udah didekati sama si A loh.'
'Gak semua lelaki seperti itu, kok..' Netizen berkata.
Ya, memang, tidak semua laki-laki seperti itu. Saya hanya menjelaskan keadaan dan alasan-alasan menurut pendapat pribadi, juga melihat pengalaman di kondisi sekitar. Tidak menuntut harus semua begitu, harus semua sesuai dengan pendapat saya.
Konklusinya, bersikaplah wajar dan jangan berlebihan. Berteman tidak dilarang. Memberi hadiah bahkan juga malah dianjurkan, kan? Tapi yang namanya hati hanya pemiliknya dan Tuhan yang tahu. Jika memang sudah dirasa melampaui batas maka ambillah jarak, jika sudah mulai menyadari ada indikasi-indikasi yang tidak wajar maka mempertegas diri bisa menjadi salah satu benteng pertahanan yang kuat. Jika sudah benar-benar terlampau jauh maka tidak ada yang bisa dilakukan selain meninggalkannya.
Satu hal yang menarik. Orang-orang yang sedang mengalami kejadian di atas tidak akan mempan dengan pengingat seperti dalil-dalil dan sebagainya. Mereka biasanya sudah paham, bahkan terkadang lebih paham dari kita. Jadi bukan hal bijak jika memaksakan itu untuk dimengerti. Ajak saja berbicara, berdiskusi, heart by heart, bertukar pikiran, atau syukur-syukur bisa mendengarkan curahan hati yang sebenarnya dari dia. Karena masalah generasi milenial yang lebih variatif dan kompleks, maka sebisa mungkin jangan memakai cara-cara lama. Asal tidak melanggar dan memiliki tujuan yang sama, maka cara apapun dapat dilakukan.
Semoga bermanfaat :))
Sumbawa, 8 Juni 2019
Komentar
Posting Komentar