Langsung ke konten utama

Berjalan Di Antara Dua Pilihan


"Kapan sidang kamu?"

Jika dihitung, pertanyaan itu muncul sudah seperti anjuran dokter untuk minum obat. Tiga kali sehari. Setiap menghadiri sidang orang, setiap bertemu saudara senasib sepenanggungan (sama-sama mahasiswa tingkat akhir), hampir selalu kalimat itu yang keluar. Tidak salah sih, justru memotivasi sekaligus juga jadi cambuk agar terus berada di zona ikhtiar untuk mencapai ke sana.

Akhir-akhir ini tekanan begitu hebat. Teman yang jauh sekali jaraknya (karena saya termasuk asabiqunal awalun yang seminar proposal skripsi), sudah pada sidang terlebih dahulu. Tentu ada perasaan lega dan senang melihat mereka yang begitu bahagia keluar dari kelas sehabis dibantai habis-habisan oleh penguji. Namun tak dapat dipungkiri, di hati yang paling dalam terdapat rasa jengkel terhadap diri sendiri. 

"Masak kalah sih sama mereka! Kamu loh seminar proposal duluan! Ayolah, don't waste your time!."

Semua orang pasti ada masanya. Thats right!. Lagipula siapa sih yang nggak mau cepat-cepat sidang? Siapa sih yang nggak mau menjawab dengan bangga kalau sudah selesai? Siapa sih yang nggak mau difoto dengan selempang dan senyum mengembang? Saya yakin hampir semua mahasiswa tingkat akhir mendambakan peristiwa ini. Kecuali bagi mereka yang meniatkan lulus tahun depan karena merasa ingin lulus di waktu yang tepat, bukan tepat waktu. Its okay, itu adalah pilihan mereka. 

Saya pun begitu. Sudah dua semester ini dilalui dengan perjuangan melawan kemalasan, berhari-hari puyeng memikirkan jawaban atas revisian dari dosen pembimbing, mengolah data, mencari responden, gagal, coba lagi, gagal, coba lagi, dan kendala-kendala lain yang jadi bagian proses mengerjakan. 

Bagi saya tugas akhir bukanlah sekedar satu tumpukan kertas tanpa makna. Kenapa kita diminta mengerjakan sendiri, tidak boleh copy paste. Kenapa kita tidak membeli saja skripsi orang. Kenapa kita harus selalu bimbingan dengan dosen, konsultasi dengan teman atau yang ahli di bidang tertentu. Adalah karena kampus sedang memberi ruang untuk menyiapkan mahasiswa terbaiknya terjun di dunia luar. Saat masalah lebih complicated, beban semakin berat, tantangan semakin bertambah. Saat dituntut untuk bisa survive dalam keadaan tergenting, bertanggung jawab atas diri sendiri, tanpa ada siapapun yang menaungi. 

Mungkin boleh jadi benar, ada momen di mana saya melakukan kesalahan. Menunda-nunda pekerjaan, menghilang sementara untuk tidak bimbingan, mengerjakan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan tugas akhir, dan kesalahan lainnya. Saya terlalu idealis, memikirkan banyak hal hingga yang seharusnya diselesaikan malah terlupa. 

Semuanya bertambah buruk ketika datang satu kabar dari pulau seberang. Saya lolos pendanaan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa, ajang bergengsi keilmiahan antar mahasiswa se-Indonesia). Sedikit cerita tentang PKM, itu adalah impian saya sejak awal masuk kuliah. Beberapa kali mencoba selalu saja gagal. Di tahun terakhir, ketika impian itu ingin saya simpan rapat-rapat, ketika keadaan meminta untuk mengubur dalam-dalam dan fokus pada pengerjaan tugas akhir. Kabar itu justru datang. 

Entah harus merasa bahagia atau bersedih. Impian masa lalu harus dibenturkan dengan harapan di masa depan. Saya serasa berjalan di antara dua pilihan. Yang sama-sama penting, yang sama-sama memiliki hak untuk diperjuangkan, dan itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

Pengalaman mengajarkan saya untuk selalu belajar, dan semakin bertambah usia saya semakin menyadari satu kelemahan mendasar saya. Tidak bisa mengerjakan dua hal (apalagi lebih) dalam satu waktu. Jangankan untuk hal besar, untuk hal sepele saya pun tidak bisa. Jika pun dipaksa maka salah satunya tidak akan terselesaikan dengan maksimal. Mungkin orang beranggapan bahwa itu bukanlah suatu hal yang besar, bagi saya tidak sama sekali. Saya selalu butuh fokus yang maksimal setiap kali mengerjakan sesuatu. Bahkan ketika sedang mengerjakan sesuatu sempat ditegur 'kok serius sekali?' 'Jangan terlalu 'sepaneng' lah kalau kata orang jawa bilang'. Begitu kata mereka. Saya nggak tahu harus menjawab apa. Karena ya memang kenyataannya begitu. Ketika kemarin dimintai tolong untuk berjualan es buah dengan pembeli yang terus berdatangan, saya harus berkali-kali bertanya tentang kembalian mereka. Karena tidak bisa membagi fokus antara membuat es buah dan menjadi kasir.

Pengumuman itu datang di saat beberapa langkah lagi menuju sidang. Saya harus menunda sementara waktu, melihat teman-teman lain selesai terlebih dahulu. Saya benar-benar harus membagi waktu, jika satu hari mengerjakan skripsi, maka harus full di hari itu mengerjakan. Begitu pula dengan PKM, tidak boleh dicampuradukan karena memang tidak bisa, atau bakal tidak maksimal nanti hasilnya. 

Boleh jadi benar nasehat dari seorang teman, Allah selalu menguji di titik terlemah hamba-Nya. Menyuruh saya untuk survive dengan keadaan. Walaupun sulit, Dia menitipkan teman-teman hebat di samping kiri dan kanan saya. Tim PKM saya yang dapat selalu diandalkan, selalu bisa berkompromi dan paham kondisi saya. Kita benar-benar jadi tim yang solid, walau masih ada kekurangan, namun tetap mau bergerak bersama, memiliki satu impian yang sama-sama harus diperjuangkan. Teman satu kontrakan, yang rela begadang menemani saya mengerjakan, membelikan jajan, atau sekedar mendengarkan keluhan, benar-benar jadi support system yang baik. 

Mungkin, semua hal di atas tidak akan begitu bermakna jika saya tidak merasa sedang berada dalam periode yang sulit. Namun, ketika itu terjadi, kebaikan sekecil apapun bisa begitu menyentuh hati. Peran seremeh apapun dapat membuat saya lebih bersyukur dengan keadaan dan berpikir bahwa, Allah yang mengirimkan ujian, sekaligus juga mengirimkan orang-orang yang membersamai saya untuk melewati itu semua :))



Sumbawa, 
di tengah musim kemarau yang memiliki angin malam menusuk tulang dan sinar matahari yang membakar ubun-ubun..


(Maaf jika terkesan agak 'cengeng', tapi saya tidak akan menulis jika tidak dari keresahan yang ingin disampaikan. Mungkin ini bisa jadi solusi ampuh untuk menstabilkan kondisi mental saya, yang sulit sekali menyampaikan selain lewat tulisan. Saya minta didoakan  supaya selalu dimudahkan dalam segala urusannya. Ambil untuk pelajaran, buang untuk yang tidak perlu. Selamat mengambil manfaat :)) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak