Langsung ke konten utama

Untukmu Yang Sedang Berjuang


Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang. 

Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat. 

Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi. 

Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat subuh. 6 hari dalam satu pekan, 26 hari dalam satu bulan. Bapak melakukan hal yang sama setiap pagi. Membangunkan seluruh anggota keluarganya, membantu ibu menyiapkan kebutuhan untuk anak-anaknya, memanaskan motor, lantas bersalaman dan dengan motornya menerobos kabut tipis Kota Tembakau.

Jarak Temanggung-Wonosobo lebih kurang satu jam. Melewati jalan menanjak hampir sepanjang perjalanannya. Jika Temanggung punya udara dingin, lebih-lebih lagi Wonosobo. Desa Tertinggi di Jawa terletak di sana. Tak terbayangkan bagaimana dinginnya naik motor setelah subuh melewati hawa menusuk yang berasal dari dua gunung Sindoro-Sumbing hampir setiap hari. 

Kita boleh jadi punya kisah yang lebih mengharukan. Perjuangan seorang bapak adalah perjuangan yang paling nyata, karena kita sendiri yang masih merasakannya hingga detik ini. Jika kita menangis karena film yang menjelaskan kerasnya kehidupan, maka 'ayah' sejatinya adalah representasi paling realistis tentang itu. Yang keberadaannya masih kita rasakan, yang buah jerih payahnya masih kita dapatkan. 

Melihatnya terjatuh berapa kali, melihatnya kesusahan berapa kali, melihatnya kelelahan berapa kali. Ayah tidak pernah peduli tentang itu. Nafasnya adalah ikhtiarnya menjemput rezeki. Tidak akan berhenti hingga semua kebutuhan keluarganya terpenuhi. 

Semua orang berbicara tentang kewajiban. 'Kan memang begitu kewajiban seorang bapak' 'ya kan emang gitu bentuk rasa tanggung jawabnya.' Satu hal yang pasti, terlalu sempit jika pengorbanan mereka hanyalah sebatas kewajiban. Lagipula, semenjak akil baligh, harusnya kewajiban itu sudah tidak lagi dibebankan. Apalagi untuk kita yang sudah mulai tumbuh dewasa dan sudah sanggup mencari uang sendiri.

Menginjak dua puluh tahun lebih hidup di dunia ini. Malu rasanya meminta. Bukannya tidak diberi, tapi merasa lemah sekali terus saja menuntut hak yang sejatinya sudah kadaluarsa. Tapi Bapak selalu begitu, memberikan tanpa mengharapkan balasan. Ketika janji hanya ingin meminjam, Bapak bilang tak perlu dikembalikan, 'itu jatahmu Nak'. Ketika malu-malu meminta karena kebutuhan yang begitu mendesak, justru diberikan lebih dari yang diminta. 

Terkadang tidak sadar, bahwa semua pemberian itu bukanlah semata kewajiban, karena sekali lagi seharusnya itu sudah tidak lagi didapatkan. Namun, sebanyak apapun kita menolak, sebanyak itu pula ayah tak akan berhenti memberikan. Jikapun pada satu kesempatan aliran itu berhenti. Sama sekali bukan karena beliau tidak ingin memberi, melainkan karena sedang benar-benar tidak punya. 

Apakah harus menjadi bapak supaya bisa merasakan perjuangan? Tidak.

Perjuangan kita adalah langkah-langkah yang terus berproses sepanjang waktu. Bagi yang kuliah, belajar sungguh-sungguh adalah juga bentuk perjuangan. Walaupun sekeras apapun berusaha tak akan sanggup membayar balasan dari kebaikan mereka, bersungguh-sungguh adalah bentuk terbaik yang bisa dilakukan. Menyelesaikan tugas, mengembangkan diri, menuntaskan skripsi.

Seburuk apapun berperilaku, orangtua kita tidak akan menghentikan aliran kebaikannya kepada kita. Mereka tidak sedang berbisnis, yang akan pergi ketika tidak mendapatkan keuntungan. Mereka tidak sedang berniaga, yang selalu memberi sesuai dengan permintaan. 

Untukmu yang sedang berjuang, sama seperti rezeki yang harus dijemput, maka segalanya harus diperjuangkan.



Sumbawa, di semester yang semoga akan segera berakhir dan berita-berita gembira yang segera berdatangan.

NB : (Tulisan ini sejatinya diperuntukkan untuk penulis, karena tidak selesai-selesai dalam mengerjakan, yang masih saja meminta tanpa bisa menghasilkan. Mari sama-sama berjuang :)  

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak