Langsung ke konten utama

Melawan Kemustahilan III : Berjodoh dengan Takdir

Allah seperti membiarkan kami untuk terus berdoa dan berikhtiar, kemudian baru membuka kran berisi kemudahan dan kelancaran rezeki.

Satu per satu bantuan berdatangan setelah itu. Mulai dari donasi berupa pakaian muslimah, hijab, mukena, hingga berupa dana.

Artis sudah didapatkan, tiket berangkat untuk dua orang juga sudah dipesan.

Saya akhirnya bisa bersantai karena hampir semua masalah selesai. Tinggal memastikan progress selanjutnya berjalan lancar.

Di hari yang dinanti-nanti, masalah kembali muncul. Tiket untuk kepulangan sudah habis! Saya mengecek beberapa kali di traveloka, juga aplikasi tiket yang lain hasilnya sama-sama nihil!

Sebagai informasi, kami memang sengaja mengakhirkan pembelian tiket pulang karena dananya belum mencukupi. Begitu dana sudah didapat ternyata terlambat. Tiket habis, bagaimana lah ini??

Tanpa diperintahkan lagi saya bersegera menuju bandara, kencang saya pacu motor berharap semoga masih ada tiket terisa. Jika tidak ada matilah kami. Sementara si artis satu hari setelah kegiatan kami juga ada acara lagi. Jadi mau tidak mau harus pulang di hari itu juga.

Nafas yang memburu, jantung yang berdegub tidak menentu, saya masuk ke gerai salah satu maskapai berlogo 'kepala burung' dengan wajah cemas. Mbak customer service tersenyum ramah. Tampak tak menghiraukan wajah saya yang pasi.

Setelah menyampaikan hajat saya, mbaknya menyuruh saya untuk menunggu. Bukan main, itu adalah proses menunggu jawaban yang begitu mencengangkan. Entah bakal seperti ini tidak rasanya ketika nanti menunggu jawaban dari si dia. Kurang lebih mungkin sama. Mungkin.

"Masnya temennya mbak... ya? " Tanya petugas CS sambil memberi satu nama.

Saya mengiyakan, memang ada satu teman saya yang bekerja di maskapai itu.

"Masnya silahkan ke gerai yang satunya, sudah menunggu di sana.."

Jawaban yang masih simpang siur. Antara ada atau tidak. Tapi karena tidak ada pilihan saya segera menuju ke tempat yang dimaksud. Sudah kadung kacau pikiran saya ketika itu.

Tersisa dua tiket terakhir. Benar-benar terakhir. Entah bagaimana ceritanya tiket itu ada di tangan.

Teman saya telah membantu saya. Dan saya berterima kasih banyak atas itu.

Namun, terlepas dari semuanya. Saya percaya, bahwa tiket itu telah diturunkan Allah khusus untuk kita, untuk kemudian berjodoh dengan artis dan managernya guna esok lusa kembali pulang ke rumahnya.

Masya Allah. Tabarakallah. Semoga bermanfaat.

Sumbawa, 20 Februari 2019

Kegiatan ini boleh jadi sudah berakhir tiga minggu yang lalu. Namun kenangannya, cerita orang-orang baiknya, pengalaman bersama kawan-kawan seperjuangan yang lain. Mungkin akan lama hilang karena tersimpan di memori jangka panjang. Karena termasuk kisah yang berkesan dalam hidup saya.

"Terima kasih kepada yang sudah mau membaca. Kemustahilan itu ada karena kita yang kurang percaya, kurang yakin sama Allah. Mari berlanjut melawan kemustahilan-kemustahilan berikutnya :))"

Komentar

  1. Kaya adegan ngebut ke bandara lucu gitu, antara panik dan harap harap tak pasti.

    Ngomong ngomong ikut seneng dengan berjalan lancarnya acara ini. Pas dirumah pun ada iri iri dengki ingin ikut juga, huhuhu, tapi apa daya takdirku disitu. Barakallah panitia panitia yang terlibat, kalian luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, bener banget. overall semuanya berjalan lancar alhamdulillah. Gapapa kokk, kita bukan apa-apa juga tanpa semua orang yang sudah mendoakan dan mendukung acara ini :)))

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak