Langsung ke konten utama

Sebuah Permulaan Yang Berakhir

Tulisan ini mungkin sedikit bernuansa 'curhat'. Tapi sebenarnya tidak, saya hanya ingin berbagi pengalaman yang kiranya dapat berguna buat diri saya sendiri maupun pembaca sekalian. Sekalgius juga buat penyemangat. Bahwa saya, dan apa yang sedang saya perjuangkan sekarang, masih belum selesai.

Cerita ini bermula dari awal masuk kuliah. Seperti mahasiswa baru pada umumnya. Mereka pasti akan memilih banyak organisasi untuk diikuti. Tertarik, ikut. Diajak teman, ikut. Lihat pamflet keren, ikut. Saya pun jadi salah satu yang melakukan itu.

Sekitar lima organisasi saya ikuti. Tentu saja, pilihan yang saya ambil sesuai hati nurani dan keinginan. Saya dari dulu nggak pernah suka dengan pemaksaan.

Perjalanan setelah itu aman-aman saja. Saya ikut kegiatan, berkenalan dengan teman-teman lintas jurusan, jadi panitia sebuah acara, dan lain sebagainya. Saya antusias sekali. Banyak hal baru yang saya dapatkan & tidak didapatkan saat SMA dulu. Karena saya orangnya mau belajar, apapun saya coba dan geluti. Saya nggak malu bertanya pada senior atau melakukan satu hal baru.

Puncaknya, ketika saya menjuarai satu lomba. Ada perasaan senang dan bangga membuncah. Melawan belasan konsestan lain, saya berhasil menjadi yang terbaik. Walaupun bukan sendiri karena lombanya tim. Itu sudah cukup menambah kepercayaan diri menjadi berlipat. Namun, ternyata itulah awal segala cerita ini bermula.

Tidak berselang lama setelah itu. Saya kaget mendengar satu buah kabar yang cukup mengejutkan. Saya terpilih sebagai salah satu kandidat ketua sebuah organisasi..! Saya speechless ketika itu. Seorang mahasiswa 'kemarin sore'. Terpilih jadi calon jabatan yang paling prestius di antara yang lain. Pimpinan..!

Lebih kaget lagi ketika dua orang kandidat lain adalah senior-senior saya, yang sudah terbukti lebih berprestasi & teruji kemampuannya. Ini saya bukan mau merendah. Memang begitu adanya. Lagipula backround dua senior saya adalah jurusan eksak, mengedepankan penelitian. Sedangkan saya jurusan sosial. Kalau kata orang tidak 'apple to apple' lah perbandingannya.

Dan, tebak apa? Saya terpilih..! Mengalahkan dua senior saya. Ingin sekali menolak ketika itu. Tapi banyak yang mendukung, bahkan kedua kandidat itu juga mendukung. Maka saya terima, dengan berat hati tentu saja. Walaupun di hati yang terdalam ada sedikit kebanggaan yang entah tidak bisa terjelaskan.

Terhitung sejak hari itu, saya resmi menjabat sebagai ketua organisasi tersebut.

Awalnya tidak banyak masalah muncul, berjalan sebagaimana mestinya. Saya mengumpulkan orang-orang terbaik yang saya kenal. Mengumpulkan mereka jadi satu kesatuan yang solid dan kompak.

Beberapa hal berjalan lancar, tapi ketika sudah berjalan satu demi satu hambatan mulai muncul.

Jujur, saya hari itu baru menyadari. Saya merasa 'ditinggalkan'. Orang yang mendukung saya saat di awal dulu mulai hilang satu demi satu. Kalau boleh dikata, saya benar-benar buta tentang organisasi ketika itu. Ilmu saya dangkal sekali. Dan saya kehilangan mentor yang membimbing saya. Saya seperti berjalan di tengah kegelapan seorang diri. Ada orang yang membawa senter untuk membantu, tapi entah di mana mereka.

Teman-teman yang membersamai saya pelan-pelan juga mulai pergi. Mereka punya kemampuan. Namun justru itulah masalahnya. Kemampuan  mereka juga dibutuhkan oleh organisasi lain sehingga tidak bisa mencurahkan sepenuh waktunya di situ.

Sungguh. Itu periode yang sangat sulit. Dalam diri saya maupun organisasi. Kegiatan-kegiatan vakum, pengurusnya entah ke mana, belum lagi anggotanya tambah tidak ada. Bodohnya lagi, saya nekat mengambil posisi penting di organisasi lain. Sebuah keputusan yang saya sesali hingga sekarang.

Saya frustasi, pusing, tidak tahu harus bagaimana, dan yang paling parah, saya tidak punya teman berbagi. Saya pendam sendiri semua masalah itu. Jika ada satu kata yang ingin saya keluarkan ketika itu mungkin adalah 'pergi'. Saya ingin lari dari masalah. Yang sayangnya tidak bisa saya lakukan.

Saya sampai-sampai membenci organisasi lain yang merenggut orang-orang terbaik saya. Lucu memang kedengarannya. Tapi itulah yang terjadi. Kalau dipikir apa kesalahan saya? Apa yang pernah saya lakukan ke mereka? Apa yang membuat mereka melakukan itu?

Ah, saya memang bodoh. Saya tidak sanggup menyampaikan masalah saya kepada orang lain. Saya tidak mau dibilang lemah. Saya tidak mau dianggap tidak bisa. Ego itulah yang menutupi semua kemungkinan solusi yang sebenarnya masih bisa dilakukan. Ya, saya belum menyadari betul pentingnya komunikasi dalam sebuah organisasi ketika itu.

Saya selalu iri melihat organisasi lain yang bisa berjalan baik, yang orang-orangnya solid & mau diajak bekerja sama. Saya di beberapa kesempatan bahkan ingin menjadi bagian dari mereka.

Sungguh, semua ini begitu menyita waktu saya. Saya hanya memikirkan bagaimana organisasi ini bisa berjalan lagi. Kuliah saya keteteran, pekerjaan di jabatan organisasi lain juga ikut keteteran, semuanya serba berantakan.

Salah satu kekesalan saya adalah, saya sama sekali tidak punya prestasi ketika itu. Padahal sebelum jadi ketua sempat beberapa kali dipanggil rektorat karena prestasi yang saya raih. Sejak menjabat jadi ketua. Prestasi saya tidak ada. Saya tidak sempat mengejar itu. Tenaga dan pikiran tercurahkan mengatasi masalah-masalah yang tak kunjung selesai.

Itu juga menimbulkan satu fakta yang menyakitkan. Bisa dibilang saya ketua yang paling tidak punya prestasi. Dibandingkan ketua sebelumnya sangat jauh. Dia sering ikut berbagai macam lomba bahkan diundang ke luar negeri karena prestasinya. Saya? Tidak ada sama sekali.

Tidak terhitung berapa kali saya kecewa. Jauh-jauh menepati janji kumpul rapat malah tidak ada yang datang, beberapa kali telpon yang tidak pernah dindahkan, menghadapi anggota yang tidak aktif, organisasi dianggap tidak ada bahkan hampir ditutup, dikejar-kejar pihak rektorat, uang banyak keluar untuk menutupi kekurangan dan hal-hal menyakitkan lainnya.

Ya, bisa dibilang saya sudah kebal menghadapi semua itu. Jika seseorang marah ketika ada teman organisasinya mangkir untuk datang. Maka saya tidak. Saya justru berpikir 'ah, mungkin prioritasnya bukan di sini..'

Jika ada yang bilang setiap orang pasti punya titik terlemah. Maka titik terlemah saya adalah tidak bisa membagi perasaan saya kepada orang lain. Saya baru sanggup menceritakan semua ini ke salah satu teman baik saya berapa bulan setelah jabatan saya usai. Mungkin itu juga yang menyebabkan semua hal di atas terjadi.

Kejadian di atas sudah berlalu berbulan-bulan yang lalu. Saya sudah tidak menjabat sebagai ketua. Sudah digantikan dengan teman saya yang lebih berkompeten. Namun semua peristiwa di atas begitu membekas di hati. Mungkin salah satu yang tidak akan terlupakan dalam hidup.

Sebagai catatan, saya tidak membenci siapapun. Teman-teman yang meninggalkan saya datang kembali di penghujung kepengurusan. Mereka tidak benar2 ingin pergi, hanya saja memang kondisinya tidak baik. Kami saling meminta maaf, bahkan sekarang kami jadi teman akrab dan beberapa kali reunian. Juga oleh semua yang pernah menyakiti saya. Saya sudah memaafkan mereka, entah mereka memaafkan kesalahan saya atau tidak tapi saya harap begitu.

Organisasi itu kembali berjalan dengan nahkoda yang baru. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Bahkan cenderung mengulang kesalahan yang sama dengan tahun di mana saya menjabat.

Apakah saya kemudian pergi lalu meninggalkan? Lagipula siapa saya? Bukan ketua ataupun posisi fungsional lainnya. Saya juga sudah semester akhir, skripsi bisa jadi alasan yg cukup kuat untuk tidak berkecimpung lagi di sana.

Jawabannya adalah tidak.

Faktanya. Setelah ketua baru menjabat saya kembali melakukan segalanya agar organisasi itu bisa eksis. Bahkan di kesempatan terakhir banyak dana yang saya keluarkan untuk mendukung itu. Bolak-balik dari tempat jauh memastikan semuanya berjalan lancar.

Apa yang saya dapatkan? Tidak ada.
Apa feedback buat saya? Tidak ada.

Saya tidak digaji untuk itu. Saya juga tidak dipuji atau diberi penghargaan apapun.

Entahlah, saya tidak tahu persis bagaimana menjelaskannya.

Mungkin saya hanya sedang menerapkan satu buah pepatah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita..

'Jangan mengakhiri apa yang sudah kamu mulai..'

Kasarnya, saya sudah tenggelam & terjebak begitu dalam. Susah rasanya jika harus mulai menggali dari awal.

Sebenarnya, saya bisa pergi. Memilih organisasi lain yang baru. Memulai dari awal, mungkin karena pengalaman bisa saja terpilih jadi ketua di organisasi itu

Bahkan sempat juga ditawari tawaran prestisius, menjabat ketua organisasi dari semua organisasi.

Tapi saya menolak itu semua. Saya ingin di sini. Sehancur apapun saya tetap senang karena di sini lah saya tumbuh & dibesarkan.

Organisasi menurut saya bukan masalah jabatan, tapi apa yang sudah didapatkan. Dan di organisasi itu saya mendapat banyak sekali pelajaran.

Organisasi juga merupakan rangkaian visi besar, cita-cita besar. Saya orang bodoh &  tidak punya track record prestasi yang baik. Tapi saya ingin orang lain lebih baik dari saya. Saya ingin membuka jalan bagi orang lain agar bisa berprestasi & membanggakan diri mereka sendiri. Itu yang saya sedang perjuangkan.

Ah, terlalu idealis memang. Tapi biarlah. Alasan-alasan di atas sudah cukup untuk membuat  saya bertahan.

Sekian.

-------------------------------------------------------------------
Tulisan ini murni opini pribadi. Tidak bermaksud untuk menjelekkan atau merendahkan siapapun.

Oiya, masih ada satu lagi yang ingin saya ceritakan. Tapi biar tidak terlalu panjang saya pisah saja. Semoga bermanfaat. 😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak