Langsung ke konten utama

Kompleksitas Dua Keluarga


Ramadhan sudah lewat sejak lima hari yang lalu. Syawal pun datang dengan segala pesonanya. Sunnah puasa yang dijanjikan satu tahun pahalanya, dan tentu saja, undangan pernikahan.

Bulan ini selalu identik dengan nikah. Ada satu teman saya yang akan mengakhiri masa lajangnya beberapa hari yang akan datang. Nggak banyak sih, cuman satu. Hanya saja karena ini at the first time teman seangkatan SMP ada yang nikah (malah udah dibuat pialanya juga :v). Jadi yang lain ikut heboh semua. Oke, tapi kali ini saya nggak akan bahas kehebohan tersebut. Ada hal lain yang nggak kalah menarik untuk dibahas. Yaitu bertemunya 'dua keluarga'.

Orang bilang nikah itu enak. Hmm, saya nggak mungkin bisa jawab. Kan belum merasakan. Hehe. Jadi nggak tahu. Tapi begitu pendapat secara umum. Makan ada yang nemenin, lah. Jalan nggak sendiri, lah. Kalau kondangan ada gandengan, lah. Dan lain sebagainya. Jawaban yang klise. Biasanya ini diyakini oleh sebagian besar kaum remaja awal yang punya tingkat ke-labilan di atas rata-rata.

Menikah adalah bertemunya dua keluarga. Itu sudah pasti. Bapak ketemu bapak mertua. Ibu ketemu ibu mertua. Kakak bertemu kakak ipar. Adik bertemu adik ipar. Itu baru antar keluarga pasangan. Belum sepupu, paman, bibi, paklik, bulik, bude, pakde, tante, om, kakek, nenek, dan masih banyak lainnya. Mereka sudah pasti akan saling berkenalan, saling berinteraksi, mencoba saling memahami, dan otomatis juga bakal menimbulkan masalah baru. Tidak akan jauh-jauh, saya akan sharing cerita sesuai dengan apa yang dirasakan sejauh ini.

Bapak dan Ibu saya berasal dari latar keluarga yang berbeda. Bapak memiliki saudara-saudara yang bisa dibilang berkecukupan. Ada yang jadi dosen, peneliti, guru, dan lain-lainnya. Hampir semua punya mobil (sebagai gambaran umum ya) dan tinggal di kota-kota besar (Jogja, Bandung, Bogor, Jakarta). Sementara hal berbeda dilihat dari keluarga Ibu. Bukan berati tidak berkecukupan, tapi bisa dibilang kondisi ekonominya di bawah dari saudara keluarga bapak. Mereka lebih memilih hidup di desa, tidak menyelesaikan pendidikan, walau ada juga yang bekerja di perusahaan.

Kita tidak sedang membahas masalah ekonomi dan pilihan hidup ya. Yang dilihat adalah perbedaan yang mencolok dari kedua latar belakang di atas. Anak-anak dari saudara bapak otomatis jadi anak yang serba kekinian, dari kecil sudah pegang gadget, main game online, dan biasa hidup di dalam ruangan ber-AC. Sementara di pihak ibu, anak-anaknya lebih sederhana, karena belum dijejali gadget dan hidup di desa, mereka lebih suka bermain boneka-bonekaan, pasaran, dan sedikit lebih tidak individualis. Nah, bisa dibayangkan apa jadinya jika mereka saling bertemu.

Hal kedua adalah masalah hubungan antar anggota keluarga besar. Awalnya saya kira, pertengkaran itu hanya terjadi di kalangan kita-kita (anak-anak). Namun ternyata tidak, orang dewasa pun juga tidak luput. Yah walaupun masalah sepele sih. Tapi tetap saja akan jadi catatan penting . Ceritanya, saya sering menemani Mbah saya (nenek) mengobrol.  Ternyata beliau beberapa kali curhat tentang masalah dengan beberapa mantunya. Tidak semuanya mbah saya suka. Ada yang membuatnya jengkel. Seperti, saat berkunjung membawa banyak makanan, padahal mbah sama sekali tidak bisa makan makanan itu. Pantangan dari dokter kata beliau.

Ada juga beberapa masalah lain yang terus saja diperbincangkan setiap kumpul-kumpul bersama. Intinya, setiap ada masalah  selalu   jadi bahan omongan. Dan tentu saja kita nggak akan pengen berada di posisi itu (yang diperbincangkan).

Ini sebagai gambaran secara umum saja, tentu lebih banyak masalah lain yang mungkin teman-teman pernah temui.

Tulisan ini bukan untuk menakut nakuti apalagi melarang siapapun untuk menikah. Justru, dengan kita mengerti dan paham. Kita bisa lebih baik lagi menyiapkan diri untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Karena masalah tentu tetap akan muncul, bedanya adalah seberapa dewasa kita dalam menghadapinya :).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak