Langsung ke konten utama

Kompleksitas Versi 2.0 : Sunda Versus Betawi


Beberapa hari yang lalu saya mendapat teman diskusi tentang tulisan saya yang judulnya 'Kompleksitas Dua Keluarga'. Pembahasannya begitu seru sampai timbul pikiran untuk melanjutkan kembali tulisan itu. Tentu saja dengan sudut pandang keluarga yang berbeda. Kali ini mengenai blasteran sunda berkolaborasi dengan betawi.

Dua keluarga saya sama sama dari Jawa. Jadi masalah yang timbul mungkin agak sedikit ringan jika dilihat dari aspek suku. Nah, bagaimana jika dua suku dengan sifat berbeda bertemu? Mari kita simak bersama.

Suku sunda, sebagaimana umumnya, dikenal sebagai orang yang lembut, welas asih (kalo kata orang jawa), dan suka memendam perasaan. Mereka lebih memilih diam daripada berterus terang, jikapun terpaksa jujur maka bahasa yang digunakan juga dipilih dengan baik dan tidak asal. Sebaliknya, suku betawi sangat bersebrangan dengan itu semua. Mereka dikenal suka 'nyablak' (ngomong langsung) tanpa ada tendeng aling-aling. Jika tidak suka ya bilang tidak suka. Jika benci ya bilang benci. Tidak ada yang dipendam. Semua dikeluarkan tanpa ada rasa 'ga enakan'. Melihat dua fakta di atas, tentu bisa dibayangkan akan sesusah apa nanti saat dipertemukan.

Selanjutnya adalah masalah yang simpel, yaitu bahasa. Kita ambil contoh biar enak memahami. Kata sapaan 'elu-gue'. Di sunda, sapaan itu sebaiknya tidak digunakan. Karena dianggap kurang sopan atau istilahnya 'ngelunjak'. Sebaliknya, di kalangan orang betawi 'elu-gue' adalah sapaan populer yang hampir digunakan semua orang, sudah menjadi ciri khas mereka. Mereka enteng sekali mengucapkannya tanpa takut dicap 'tidak sopan' karena memang begitulah kebiasaan di sana.

Kata sapaan yang 'terlarang' di sunda bertemu dengan makanan sehari-harinya orang betawi. Bisa dibayangkan jika satu kesempatan mereka salah ucap, atau lupa sedang berada di lingkungan keluarga sebelah. Bisa panjang urusannya. Hehe.

'Terus ga bentrok tuh?' Tanya saya melihat problem yang cukup complicated ini. Justru enggak, jawab dia. Mereka malah bisa saling mengenal hal-hal baru dan banyak hal seru lainnya. Misalnya di saat ada pertemuan keluarga mereka pada diem-dieman, tiba-tiba dengan celetukan khasnya orang betawi bercerita. Mereka memang dikenal punya selera humor tinggi. Saya jadi ingat dulu suka sekali menonton Si Dul Anak Betawi dan dibuat ngakak setiap kali tokoh-tokohnya melakukan percakapan.

Jadi, jika ingin kehidupanmu lebih seru. Boleh banget mencari orang yang berbeda suku untuk menjadi pasangan hidupmu. Karena perbedaan itu tidak selamanya buruk, justru dapat membuat hidupmu lebih berwarna. Tergantung dari besarnya rasa saling memahami antar anggota keluarga baru lainnya. Selamat mencari :))

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak