"Ada 106 perguruan tinggi di Yogyakarta. Masing-masing terdiri dari universitas, institut, sekolah tinggi, dan lain-lain. Tidak heran kota ini dijuluki sebagai Kota Pelajar karena sudah menjadi destinasi favorit dari para pelajar se-antero nusantara. Mirisnya, dari 1400 kasus 20 % nya adalah kasus kekerasan seksual (Data Statistik YLPA). Masih layakkah mendapat gelar itu..?"
"Kemarin saya dapat kabar, ada seorang mahasiswi asal luar daerah yang melahirkan di puskesmas.." Kata Pak Nyadi mulai bercerita.
Saya tercengang, posisinya berati sama seperti saya. Mahasiswa yang kuliah di kampung orang. Pak Nyadi adalah salah satu penanggung jawab layanan sosial di YLPA, tempat saya magang. Beliau hanya lulusan SMA. Tapi pengalaman dan jam terbang jangan ditanya. Beliau langganan jadi relawan NGO Internasional. Seperti UNICEF, juga lembaga pemerintah yang bergerak bidang perempuan dan anak. Beliau sering menjadi trainer di berbagai seminar atau training, yang isinya orang-orang berpendidikan semua. Saya menggeser posisi duduk, tampaknya diskusi bakal jadi menarik.
"Mahasiswi itu berniat menggugurkan kandungannya. Sebelum itu terjadi, saya segera datang ke sana. Melakukan pendekatan. Saya bilang ke dia, jangan sampai kamu gugurkan itu! Bisa saja ini adalah terakhir kalinya kamu bisa melahirkan. Kalau menikah nanti, terus kamu nggak bisa memberi keturunan. Apakah nggak nyesel. Coba dipikirkan lagi..!!" Tegas Pak Nyadi.
Saya melongo. Agak sadis sih kata-katanya, apalagi di kondisi pasca melahirkan yang sedang sakit-sakitnya. Tapi bener juga. Pak Nyadi melakukan tindakan preventif dengan cara itu. Beliau juga meminta agar si mahasiswi tinggal sementara di tempat milik pemerintah. Diberi waktu dua minggu untuk berpikir.
Belum genap dua minggu. Pak Nyadi menelpon orangtua si mahasiswi. Menjelaskan situasi dan kondisi yang ada. Akhirnya, niat untuk aborsi diurungkan. Bayi mungil tanpa bapak itu dirawat oleh kakek-neneknya jauh di sana. Case closed. Masalah selesai!
Itu baru satu kasus. Belum kasus-kasus lain, belum lagi yang tidak tercatat pasti jauh lebih banyak. Benak saya pun dipenuhi satu pertanyaan. Kenapa? Kenapa di kota yang katanya menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, justru moral sebagian pelajarnya begitu bobrok? Apa yang terjadi?
"Karena mereka dari luar daerah.." Jawab Pak Nyadi singkat. Saya masih belum mengerti. Apa hubungannya coba?
"Iya, mereka jauh dari orangtua. Jauh dari pengawasan yang biasa mereka dapatkan. Mereka hidup lebih bebas, lebih tanpa aturan, dan lebih nakal.."
That's it! Itu dia! Saya sudah menemukan insight-nya sekarang! Tak dapat dipungkiri. Jauh dari orang terdekat berati kesempatan untuk melakukan perbuatan 'baru' yang biasanya dilarang sangat besar. Kita memang sudah besar. Tak perlu lagi diingatkan dan diceramahi. Tapi, ketika jauh dari orangtua. Sudah berkumpul dengan teman-teman yang entah gimana latar belakangnya. Bayangan akan wejangan dan nasihat-nasihat orangtua akan buyar.
Ini bukan kata saya. Tapi kata Pak Nyadi yang sudah menangani ratusan kasus serupa. Tapi saya setuju dengan beliau. Alasan yang cukup rasional karena saya sendiri juga beberapa kali menemui hal serupa di lingkungan saya.
Benar kata salah seorang teman saya.
"Kejahatan ada bukan karena ada orang jahat. Tapi karena ada kesempatan yang membuat dia berpikir untuk melakukan itu.."
Yogyakarta, 5 Oktober 2018
Dari mahasiswa yang masih magang di institusi kehidupan... :)
Komentar
Posting Komentar