Langsung ke konten utama

Catatan Seorang Relawan : Menjadi Baik Itu Baik


Life is unpredictable!

Jangankan bencana, apa yang akan terjadi satu detik ke depan pun kita tidak tahu. Semuanya seolah menjadi misteri, atau suratan yang hanya dimengerti Sang Ilahi Rabbi.

Seperti sore itu, sungai di pinggiran Kota Dompu bergejolak. Tak mampu menahan curah hujan tinggi. Aliran mendadak deras, seperti ular kelaparan mengejar mangsa. Gemuruh yang didengar warga bantaran sungai ternyata mimpi buruk bagi mereka. Tanggul pembatas pun jebol karena terus ditekan. 'Ular besar coklat' itu kini bisa masuk dengan cepat menenggelamkan apa saja.

Tengah malam air memang sudah surut, tapi dampak setelah itu sungguh menyedihkan. Lumpur memenuhi setiap jengkal rumah sejumlah warga, jalanan, juga TK, SD, dan TPQ. Tidak sedikit bangunan yang rusak, kaca yang hilang, perabot yang entah pergi ke mana. Semua terjadi dalam rentang waktu yang cepat & tak terduga.

Hati seketika terketuk, doa dilangitkan, dzikir dipanjatkan di sela-sela kesibukan, berharap agar Allah memberi kesabaran di tengah kesulitan. Satu bentuk respon yang begitu menyejukkan.

Yang lain memilih diam, entah tidak peduli atau merasa tidak bisa memberikan bantuan, atau ada hal lain yang dipikirkan, mungkin. Hatinya belum tersentuh, atau memang tidak akan pernah tersentuh.

Tidak ada yang bisa dilakukan setelah itu, tidak ada yang sanggup menghapus air mata semua orang, atau memberi bantuan yang langsung menghilangkan semua beban akibat tertimpa musibah dalam satu kali waktu.

Tetapi, cahaya kebaikan menyinari sebagian orang yang tidak hanya membantu mendoakan, tapi juga turut terjun di lapangan. Sama saja, tidak banyak yang bisa dilakukan. Kami tidak punya uang, tenaga juga terbatas, tidak bisa siang-malam membersihkan lumpur hingga tuntas. Kami hanyalah kecil  dibandingkan ratusan KK yang terdampak, atau puluhan kilometer radius bencana yang terserak. Ya Allah, sungguh kami tidak kuasa menandingi kekuasaan-Mu.

Apakah karena itu kami berhenti? Jujur saja, hampir. Tapi sebersit cahaya yang bersinar itu, walau sedikit, ternyata menyebar perlahan. Seperti ribuan lilin yang padam, akan turut menyala ketika ada satu yang hidup. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit.

Satu per satu sejarak menit ke jam. Manusia dari berbagai latar belakang berdatangan. Aparat negara, lembaga sosial-kemanusiaan, siswa-siswi SMA. Lilin-lilin itu mulai bersatu padu, semakin besar & terlihat walau jaraknya berbatas kota atau lintas pulau.

Siapa yang menggerakkan mereka? Siapa yang memanggil mereka? Siapa yang mengundang mereka? Siapa yang menyuruh mereka?

Kami tidak tahu. Kami pun jika ditanya pasti memiliki jawaban yang berbeda.

Raga kami boleh jadi terkoneksi, kawan. Kebaikan yang mungkin hanya secuil (dibanding dengan tujuan2 lainnya) adalah ibarat lilin di setiap jiwa seseorang. Yang walau tidak saling kenal, tetapi bisa ikut bersinar karena hubungan kemanusiaan.

Menjadi baik itu baik. Karena biarpun lisan tak berbicara, lidah tak saling bertegur sapa, cukuplah keikhlasan jadi senjata utama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Fairytale Love (Bagian Kedua)

Di tengah langit Ciburuy yang mendung, dingin menyelimuti sebagian Bandung Barat. Rumah ekstra luas beraksen jadul dengan taman indah di belakangnya. Pot bunga menggantung dan rumput hijau sejauh mata memandang. "Jadi, gimana ceritanya teh?"  Belum beristirahat sejak perjalanan setengah hari Jogja-Bandung, pertanyaan itu terlontar begitu saja. Seperti biasa, sesosok perempuan dengan raut wajah menyenangkan itu tersenyum sebelum menjawab. "Wah, mulai diinterogasi nih.." Balasnya. "Jelass dong. Kan jauh-jauh cuma pengen tau ceritanya..hehe.."  "Yaudah, sok atuh tanya.."  Teteh memang begitu. Hampir selalu mengulum senyum setiap kali melakukan percakapan. Kakak sepupu paling besar itu bisa dibilang yang paling enak diajak ngobrol. Soalnya sepupu-sepupu yang lain masih pada kecil-kecil, jadi gak bakal nyambung deh. Kecuali kalau main lah iya, baru nyambung. "Kapan mulai kenal si doi?"  "5 tahun yang lalu. Dtulu kan ada kepanitiaan rama...

Musuh Mahasiswa

Setiap orang punya musuh. Sama. Mahasiswa juga punya. Entah mahasiswa di daerah lain beranggapan sama atau tidak. Bagi kami. Mahasiswa daerah timur Indonesia. Musuh kami ada dua. Mati lampu dan sinyal internet. Lagi asyik-asyiknya ngerjain tugas a.k.a buka facebook atau youtube . Gadget kami dijejali oleh sebuah hal yang sangat mengerikan! Bukan virus, spam , atau malware berbahaya. Melainkan satu kalimat menyesakkan. 'No Internet Connection" Itu yang pertama. Yang kedua adalah mati listrik. Di daerah kami mati listrik seakan menjadi teman baik. Senantiasa membersamai setiap hari. Setiap satu minggu sekali bisa dipastikan ada masanya semua menjadi gelap. Pet! Kegiatan seperti mengecas hp dan memasak nasi memakai rice cooker menjadi terganggu. Awalnya memang tidak nyaman. Tapi lama-lama menjengkelkan juga. (Lah, apa bedanya? :v) Oke. Cukup. Itu dua hal yang menjadi musuh bersama. Dan saya meyakini satu hal. Tidak akan ada yang bisa berdamai dengan kedua hal itu. Tidak sa...

Hidup bersama Impian

"A dream is a wish your heart makes" - Walt Disney Mimpi adalah hak setiap orang. Semua orang boleh bermimpi. Lagipula, mimpi itu gratis dan tidak perlu mengeluarkan tenaga apapun. Hanya membutuhkan sedikit pemikiran, bahkan bisa yang hanya terlintas sejenak, lalu tulis di selembar tulisan. Selesai. Mimpimu sudah jadi. Sesedarhana itu saja. Banyak orang yang menyangsikan kekuatan sebuah mimpi. Jujur, saya juga mempunyai pikiran yang sama pada mulanya. Memang sih, ada banyak kisah-kisah bagaimana seseorang bisa mencapai mimpinya, banyak juga saya mendengar motivator-motivator, membaca buku-buku tentang hebatnya suatu mimpi. Tapi tetap saja saya tidak langsung percaya begitu saja. Seiring berjalannya waktu, Saya menyadari satu hal. Bermimpi itu sangat gampang, dan alasan kenapa banyak orang tidak melakukannya adalah karena menganggap bahwa mimpi itu kurang penting, mereka lebih percaya kerja keraslah yang dapat menentukan hasil akhir. Menurut saya, kerja keras memang p...