Langsung ke konten utama

Berteman Tanpa Rasa

Kehidupan sosial menuntut untuk saling berinteraksi dengan orang lain. Apalagi di lingkungan heterogen seperti kampus, harus siap dengan segala perbedaan-perbedaan multikultural atau lintas budaya. Tak perlu jauh-jauh, antar lawan jenis saja masalahnya sudah begitu kompleks dan bisa sangat bervariasi.

Semua orang boleh berteman dengan siapa saja. Tak ada yang boleh membatasi siapa berteman dengan siapa. Masalah muncul ketika salah satu atau keduanya memiliki perasaan 'lebih' atau 'khusus'. Tak perlu membahas cinta, mungkin bisa dibilang gejala awal darinya. Karena rata-rata mereka tidak akan mau mengaku jika sedang 'jatuh cinta'. 

Komunikasi begitu intens, ada perhatian lebih, rasa saling membutuhkan, ingin selalu bertemu, dan hal-hal lain sebagainya. Seperti dikatakan di awal, bukan saling mencintai. Tapi perbuatannya sudah mencapai definisi itu. 

Tidak salah memang. Lagipula siapa yang boleh menyalahkan perasaan jika kita sendiripun juga mengalami hal yang sama? Perasaan terhadap lawan jeniz adalah karunia Tuhan di setiap hati manusia (yang normal). Apalagi jika berada pada tempat yang sama dalam kurun waktu yang lama, hal semacam ini hampir bisa dipastikan terjadi.

Fase selanjutnya adalah penerimaan atau penolakan. Ketika kenyamanan sudah digenggam maka tentu ada jawaban. Baik  akan diteruskan atau berhenti di tengah jalan. Tergantung kesepakatan. Walaupun tidak selamanya harus ada jawaban secara langsung, karena dengan mereka yang masih bersama sudah menjelaskan tanda-tanda itu. 

Berteman dengan rasa kadangkala menimbulkan kecanggungan ketika berhenti tiba-tiba. Mungkin ada konflik atau ketidakcocokan antar mereka berdua. Yang biasanya kita lihat sangat harmonis bisa berubah sebaliknya. Tidak menyapa ketika bertemu, bersikap dingin, nomornya diblokir, akun instagramnya di unfollow, saling menghindar, dan lain sebagainya.

Susah jika mereka adalah anggota di organisasi yang sama, ego akan mengalahkan profesionalitas yang harusnya dijunjung tinggi. Susah untuk bersikap biasa-biasa saja di tengah perasaan yang sedang bergejolak. 

Menghilangkan eksklusifitas diri dalam berhubungan memang perlu. Artinya kita nggak harus membatasi diri bergaul dengan golongan tertentu. Hanya saja jika tidak ingin 'berteman dengan rasa' ini terjadi maka yang perlu dilakukan adalah jangan berlebih-lebihan.

Dalam hal apapun, bersikaplah sewajarnya saja. Berhenti atau menjauh ketika ada sinyal-sinyal yang sepertinya sudah tidak biasa lagi. Tak harus menolak secara langsung, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghindar tanpa melukai perasaan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak