Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Si Bunga Desa


Semakin hari, definisi cinta semakin hilang tanpa disadari. Kesuciannya yang pergi entah ke mana, beralih kepada semua hal yang penuh cela.


Namanya Sekar, anak pertama dari enam bersaudara. Sekar lahir dari keluarga sederhana di pelosok Desa. Meski begitu, Ibu Sekar adalah sosok yang stylish, selalu ingin agar Sekar tampil rapi, bersih, dan wangi.

Sejak kecil, Sekar sudah menjadi seorang gadis yang paling menonjol di antara teman-temannya. Selain karena parasnya yang ayu, dia juga anak yang rajin & ramah kepada siapa saja. Setiap ada tetangga yang punya gawe (hajat), Sekar selalu ikut membantu. Sekar tumbuh menjadi bunga yang bermekaran indah di desanya.

Tidak sedikit teman laki-laki Sekar yang suka pada dirinya. Namun ada satu hal yang menghalangi mereka untuk berterus terang, yaitu kecemerlangannya dalam dunia pendidikan. Sekar juga anak yang pintar, selalu mendapat ranking di kelasnya. Bahkan setelah bersaing ketat, Sekar berhasil diterima di SMA yang paling mentereng di Kabupaten. Sebuah pencapaian yang tinggi bagi desanya.

Dan sebagaimana kebanyakan lelaki di desa itu, mereka akan sungkan apabila melihat 'derajat' gadisnya lebih tinggi. Maka tidak ada yang berani mengungkapkan secara langsung.

Wawan adalah salah satu yang mengagumi Sekar. Dia teman kelas sekaligus juga sahabat Sekar. Wawan adalah anak orang kaya, bisnis orangtuanya tersebar sampai luar kota. Wawan selalu menemani Sekar ke mana pun ia pergi. Menaiki sepeda ontelnya, walau jarak yang jauh sekalipun Wawan siap mengantarkan. Dia hanya sanggup menyampaikan perasaannya ke Wati, adik Sekar. Wawan berjanji, akan melamar Sekar saat dia sudah lulus kuliah nanti.

Memasuki dunia perkuliahan, Sekar melanjutkan pendidikannya di Semarang. Sebuah capaian yang membanggakan mengingat tidak semua anak Desa bisa kuliah. Hal ini membuat para pemuda semakin mengagumi Sekar. Dia pun jadi perbincangan hangat & idaman bagi setiap orang.

Wawan ternyata juga berkuliah di Semarang, namun berbeda kampus dengan Sekar. Dia membantu Sekar mencarikan tempat kos di hari awal 
Sekar berkuliah. Bukan hal sulit karena bisnis orangtua Wawan juga sudah merambah ke Semarang. Dia bisa dengan mudah menemukan apa yang Sekar mau. Di sepanjang perkuliahan Wawan selalu membantu Sekar. Namun Sekar tidak pernah tahu jika Wawan menyimpan perasaan dengannya.

Di masa kuliah Sekar mulai mengenal agama lebih baik. Hidayah sudah muncul saat dia SMA, dengan Sekar menjadi yang pertama kali berhijab di antara teman-temannya. Agamanya semakin kuat ketika dia mengenal tarbiyah di kampus. Mulai mendalami agama & belajar mengaji lebih giat lagi. Di situlah awal pertemuannya dengan Nurul, teman ngajinya.

Setiap lebaran Sekar mudik ke rumah, dan di situlah malapetaka terjadi. Sekar selalu ditanya 'kapan menikah' oleh hampir seluruh warga di desa. Karena hal yang tabu apabila perempuan lama menikah. Apalagi dia suda mencapai pendidikan yang tinggi.'Apa lagi yang ditunggu?'. Begitu pikir mereka.

Hal ini membuat Sekar merasa tidak nyaman. Bahkan dia sempat kabur dari rumah untuk menenangkan diri sampai sebelum lebaran tiba.

Sekar bukannya tidak laku atau tidak ada yang mendatangi Bapaknya. Beberapa laki-laki sudah pernah berniat baik namun selalu ditolak karena berbagai macam alasan.

Sebut saja Budi, pegawai PLN yang juga teman SMP Sekar dulu. Memiliki kondisi finansial yang cukup baik untuk menjalani kehidupan di masa depan nanti. Namun karena dia tidak mondok (pesantren) Sekar menolaknya. Sekar ingin pendamping yang bisa mengaji & punya bekal agama yang baik. (Tapi jauh di dalam hatinya ia menginginkan seseorang yang juga tarbiyah sama dengannya, satu frame pemikiran). 

Tri pemuda kesekian yang ditolaknya. Dia lulusan pesantren dan juga pandai mengaji. Tapi karena merokok Sekar menolaknya.Ya, dia tidak suka perokok dan mencoret itu dari daftar calon suaminya.

Wawan juga tidak mau kehilangan kesempatan. Dia datang bertemu dengan Bapak Sekar untuk mengungkapkan niat baiknya. Sebagai anak pebisnis kaya raya di desanya. Bapak Sekar sangat suka dengan Wawan, dan berharap dia yang jadi menantunya. Namun hal ini rupanya belum mengetuk hati Sekar. Dia menolak dengan halus lamaran dari Wawan. 

Wati sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakaknya. Sudah kaya, ganteng, pintar, anak orang berada, tapi tetap gak mau? Entah apa yang ada di pikiran kakaknya waktu itu. 

Di sisi bagian bumi yang lain. Nurul (teman ngaji Sekar selama kuliah), memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Banjarnegara setelah lulus kuliah. Tak butuh waktu lama, Nurul menikah dengan Ilham, teman yang masih dalam lingkaran mengajinya. Pernikahan yang sederhana dan mereka pun memulai kehidupan baru. 

Nurul berprofesi sebagai guru di salah satu SMA di Banjarnegara, sekaligus juga pembina rohis di sana. Di situlah Nurul bertemu dengan Arif, pembina rohis di salah satu SMK di sana.

Arif adalah pemuda yang sederhana dan agamanya baik. Dia memang bukan lulusan pesantren, tapi keinginannya dalam mempelajari agama begitu tinggi sejak berkuliah di jogja. Arif menjadi marbot masjid ketika itu & jadi panitia pengajian. Menjemput ustadz-ustadz untuk mengisi kajian di masjid kampus.

Karena sudah merasa mampu, Arif berkata pada Ilham & Nurul bahwa dia ingin menikah. Nurul tiba-tiba teringat dengan Sekar, teman masa kuliahnya dulu yang ia kenal sangat taat dan baik akhlaknya. Arif pun tanpa banyak pertimbangan langsung menyetujui hal itu.

Waktu lamaran pun tiba, Arif ditemani Ilham datang menemui orangtua Sekar dengan perasaan yang dag-dig-dug tidak karuan. Arif belum pernah sekalipun melihat wajah calon istrinya, bahkan melihat fotonya pun tidak. Sebelum lamaran sempat ia mengirimkan surat namun ternyata surat itu tidak sampai. Jadilah Arif bertanya-tanya dalam hatinya, 'seperti apa calon istrinya nanti ?' 

Hal yang sama juga dirasakan oleh seseorang yang berkilometer jauhnya dari tempat itu, Sekar. Tidak pernah ia secemas itu sebelumnya. Setelah diberi tahu Nurul segera ia sampaikan ke bapaknya. Tentang Arif dan latar belakangnya. Kali ini Sekar menerima, tapi keputusan akhir tetap berada di tangan bapaknya. 
'Terserah, bapak. Sekar serahkan ke Bapak..' Begitu kata Sekar ketika itu.

Alih-alih melihat calon suaminya, Sekar justru pergi sebelum Arif dan Ilham datang. Dia tidak mau tahu apa yang terjadi. Biar bapaknya dan takdir Allah yang menentukan diterima atau tidaknya lamaran Arif. Sekar pasrah sepasrah-pasrahnya.

'Rif, silahkan berbicara. Kamu yang menyampaikan sendiri ya maksud & tujuanmu kemari..' Kata Ilham ketika mereka sudah berhadap-hadapan dengan Bapak Sekar. Arif seketika menciut, tidak menyangka Ilham bisa setega itu. Padahal niatnya mengajak Ilham ya biar dia yang bilang. Kok malah jadi begini ? 

Demi melihat wajah Arif yang menduduk malu Bapak Sekar tertawa. Sungguh awal yang menyenangkan untuk memulai obrolan. Tidak butuh waktu lama bagi Bapak Sekar untuk menjawab. Arif memang tidak punya apa-apa. Tapi beliau percaya anaknya berada di tangan yang tepat setelah melihat pribadi Arif yang begitu baik. Pembicaraan ditutup dengan penentuan tanggal pernikahan.

Hari yang dinantikan pun tiba, sekaligus juga hari patah hati satu desa bagi semua pria yang pernah atau masih menyimpan rasa dengan Si Bunga Desa, Sekar. 

Acara bersatunya dua jiwa itu pun berlangsung secara sederhana & khidmat. Seluruh desa datang ikut meramaikan. Halaman depan rumah Sekar disulap menjadi panggung sederhana & beratapkan terop untuk melindungi dari panas. Terdapat pula bunga-bunga indah untuk semakin mempermanis dekorasi. 

Sesuai tradisi, pernikahan di desa itu tidak bercampur, melainkan disekat menggunakan kain untuk memisahkan antara tamu laki-laki dan tamu perempuan.  Pengantin pria & wanita pun juga dipisah. Tidak bisa saling bertatap seperti pernikahan pada umumnya. 

Prosesi pernikahan berlangsung lancar hingga akhir. Tamu-tamu mulai pulang setelah memberi selamat dan mendoakan. Rumah mulai sepi tinggal menyisakan keluarga Sekar & keluarga Arif yang datang jauh-jauh dari Grobogan.

Karena tidak pernah melihat langsung apalagi bertemu, Arif kebingungan karena tidak tahu istrinya yang mana. Tiba-tiba dari arah samping seorang gadis menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Arif kikuk menerima uluran tangannya.
'Oh, ini istriku.' gumam Arif dalam hatinya. Sekar balas tersenyum. Senyuman pertama yang berpahala ibadah dari istri untuk suaminya :)


Walau bermahar Al-Qur'an dan buku 'Keluarga Nabi', Sekar menerima Arif untuk menyempurnakan separuh agamanya. Menolak pria-pria lain yang menawarkan gelimang harta dan kemudahan dalam urusan dunia. 

Tanpa sebuah pertemuan, rasa cinta bertumbuh karena memiliki satu hilir yang sama, yaitu cinta kepada Sang Pendipta. 

Kehidupan Sekar & Arif tidak mudah setelah itu, benar-benar mulai dari 'nol'. Bahkan mereka pernah menjual kalung emas (yang diberikan kakak Arif sebagai hadiah pernikahan) karena tidak punya uang.

Tapi bukankah kebahagiaan tidak melulu diukur dari kenikmatan dunia? Apa artinya kebahagiaan tanpa keberkahan? Dan apa yang lebih indah daripada saling lapang menerima keadaan? 

Temanggung, 8 November 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak