Langsung ke konten utama

Mari 'Membenci' Guru


Orang-orang selalu berpikiran aneh. Bagaimana mungkin memuja seseorang yang tidak memiliki apa-apa? Keteneran tidak, harta pun tidak banyak, populer juga apalagi.

Guru sama saja dengan profesi lainnya. Tapi kenapa hanya dia yang diagungkan di mana-mana. Kenapa tidak ada lagu tentang tukang becak? Pemulung? Tukang sampah? Padahal jika dipikir-pikir pekerjaan mereka lebih susah daripada hanya sekedar berbicara di depan orang banyak. Masalah jasa? Jangan salah, profesi-profesi lainnya juga tidak kalah berjasanya. Hanya berbeda bidang. Guru di pendidikan, tukang sampah di lingkungan.

Apa hebatnya profesi mereka dibandingkan dengan yang lainnya? Bukankah sama saja. Mereka bekerja untuk mendapatkan uang, penghidupan bagi keluarganya, gaji guna memenuhi kebutuhan. Zaman sekarang mana ada guru yang tidak mau dibayar. Tidak mungkin kenyang dengan embel-embel 'pahlawan tanpa tanda jasa, bukan? Mungkin ada guru yang seperti itu. Namun hanya sedikit sekali. 1 banding 1000.

Lagipula pekerjaan mereka cenderung mudah. Datang, menjelaskan, memberi tugas, lantas pulang kembali ke rumah. Tidak butuh banyak tenaga dibandingkan pekerja bangunan atau semacamnya. Mereka pun bisa izin panjang atau cuti jika ada hal-hal yang mendesak, tanpa kehilangan gaji atau malah bisa dapat tunjangan karena itu.

Lantas kenapa harus ada Hari Guru? Penghargaan atas jasa-jasa mereka mencerdaskan bangsa? Alasan yang cukup masuk akal. Tapi itu terlalu diskriminatif. Seolah meniadakan peran profesi-profesi lainnya.

Coba pikirkan lebih lanjut. Siapa yang berjaga membersihkan sekolah kalian setiap hari? Menyapu halaman? menyirami tanaman? Mengepel lantai? Memastikan semua bersih agar kalian merasa nyaman dalam belajar? Guru kah? Bukan. Itu pekerjaan petugas kebersihan. Dan apakah ada Hari Petugas Kebersihan Sekolah? Tidak ada. Padahal mereka turut berupaya mencerdaskan bangsa.

Siapa yang mengurus masalah administratif kalian? Guru mungkin iya, namun hanya sebatas memberi nilai. Tapi yang mengolah data, mencetak rapor, mengurus bagian keuangan, slip spp, berkas-berkas selama ujian, perizinan, surat menyurat. Ada bagian tersendiri. Disebut petugas TU atau Tata Usaha. Apakah ada Hari  Petugas TU? Tidak ada. Padahal mereka juga ikut andil dalam upaya mencerdaskan bangsa.

Siapa yang berjasa ketika kalian sedang lelah belajar dan merasa sangat lapar? Guru kah? Tentu saja bukan. Itu ialah tugas Bibi Kantin Sekolah. Apakah ada Hari Bibi Kantin Sekolah? Tidak ada. Padahal mereka juga tidak kalah berjasa dalam mencerdaskan bangsa. Mungkin kalian tertawa di bagian ini. Tapi coba bayangkan, jika aliansi bibi-bibi kantin seluruh Indonesia mogok kerja. Tentu kegiatan belajar mengajar akan terancam. Tidak mungkin seharian memeras otak tanpa terisi perut. Logika tidak akan bisa berjalan tanpa adanya logistik.

Selain itu masih banyak lainnya. Satpam sekolah, mamang penjual cilok, penjaga perpustakaan, perawat kesehatan di UKS,  penjaga koperasi sekolah, polisi yang mengatur padatnya lalu lintas di pagi hari. Di mana penghargaan mereka selama ini? Bukankah mereka juga bagian dari upaya mencerdasrkan bangsa?

Lalu siapakah yang patut disalahkan akan kejadian ini? Guru kah? Seperti judul di atas? Tentu saja tidak. Sebenci apapun dengan profesi itu, tulisan ini pun adalah buah dari kerja keras mereka. Guru yang dulu mengajarkan membaca, mengenalkan huruf-huruf, menulis abjad, mengajarkan berpikir kritis, sehingga tulisan ini ada di hadapan pembaca.

Kita lah yang harus disalahkan. Karena selama ini selalu berpikiran sempit tentang makna seorang G.U.R.U. Dia bukan hanya yang berpakaian rapi, berpeci, berkaca mata, berutur santun, pandai menjelaskan.

Guru adalah semua orang yang mengajarkan kita akan kehidupan. Menjelaskan pengalaman pahit, menyadarkan rasa syukur, hidup sederhana, berbuat baik kepada sesama. Walau satu kalimat, beberapa patah kata, jika dia mengajarkan satu hal, maka sudah bisa disebut GURU.

Jika orang yang berbicara seperti itu saja sudah bisa disebut GURU. Lantas bagaimana dengan  'guru-guru' di awal tadi yang kita jelaskan dan kritisi? Sebutan apa yang pantas bagi mereka? Mungkin secara redaksional hanya terbatas disebut 'guru', tapi secara maknawi jauh lebih baik dari itu.

--------------------------------------------------------
Selamat Hari Guru! Tidak perlu menjelaskan lebih banyak tentang kehebatan mereka Karena dengan kamu melihat orang-orang hebat yang memenuhi negeri ini. Di situlah buah dari kerja keras mereka.

@wafiqzuhair

Komentar

  1. Love love tulisan nyaaa. Terus berkarya kak.

    BalasHapus
  2. Good Writen
    sangat mengispirasi,,
    cakep dah Pokoknay
    semangat
    #salamDariSahabatmu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Yang Sedang Berjuang

Malam menyapa Sumbawa untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, malam dan jalan Sumbawa adalah dua alasan yang cukup untuk memacu motor di atas 80 km/jam. Namun, niat itu seketika diurungkan karena angin yang seperti menusuk hingga tulang.  Musim kemarau kali ini entah kenapa begitu terasa dingin. Siang yang begitu berkontradiksi dengan datangnya malam yang sangat dingin. Pengaruh angin muson atau apalah, yang pasti di beberapa daerah mengalami kejadian yang sama. Bahkan sampai minus berapa derajat.  Cuaca seperti ini mengingatkan pada rumah. Terletak persis di kaki gunung, Temanggung adalah kuatota yang selalu diselimuti kabut tipis setiap paginya, sedikit sekali disapa matahari, sekaligus juga memiliki air es yang membuat siapapun enggan  untuk mandi pagi.  Hampir setiap pagi, ketika mata masih berusaha menahan kantuk, Bapak sudah siap dengan jaket tebalnya. Jarak tempat kerjanya yang lumayan jauh (satu jam perjalanan) membuatnya harus bersiap-siap sesaat setelah sholat su

Narasi Juang (Bagian I) : "Sayap-Sayap Elang Patah."

Ngapain kuliah? Buang-buang waktu saja.” Kalimat ini terus terbayang hingga pundak dibebankan satu amanah yang berat. ‘Menjadi ketua sebuah organisasi tingkat universitas!’ Baru beberapa semester masuk. Belum tahu apa-apa. Masih buta tentang leadership dam manajemen organisasi. Tapi sudah harus memegang kendali penuh & diberi ekspektasi. Hasilnya ? Sudah dapat ditebak. Tahun-tahun sulit merambah masuk ke kehidupan kampus. Kuliah terbengkalai, tugas dikerjakan waktu deadline semua, organisasi berjalan patah-patah dengan beragam dinamika. Umur organisasi yang baru seumur jagung & ketiadaan mentor membuat saya kebingungan dalam membawanya. Belum lagi loyalitas & integritas anggota yang sangat kurang semakin memperburuk keadaan. Jangan tanya berapa kali merasa kecewa, sakit hati, hingga stres berkepanjangan. Terlalu banyak pengalaman pahit plus getir di sana. Saya yang bela-bela in menerobos panas untuk menghadiri rapat (yang ternyata tidak ada satupun yang dat

Menyapu Pahala

Hari itu Masjid Kauman ramai sekali. Tidak hanya memenuhi masjid sampai pelataran sebagaimana sholat jumat. Jamaah benar-benar membludak bahkan sampai halaman yang luasnya hampir sebesar lapangan sepak bola. Keramaian yang menentramkan. Ibu-ibu menggendong anaknya yang berbusana muslimah sempurna, remaja-reaja berjalan syahdu saling bercanda tawa, bapak-bapak yang beradu temu saling berpelukan. Tidak ada gesekan, tidak ada teriakan-teriakan seperti di pasar, tidak ada kata-kata makian yang keluar. Semuanya berjalan begitu harmonis. Apa sesungguhnya makna beribadah? Apa artinya berislam dalam hidup ini? Apakah harus belajar di pesantren, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Timur Tengah sana, lantas pulang-pulang jadi ustadz? Mengisi kajian, menjadi imam, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an? Apakah harus masuk organisasi A? Mengikuti setiap pergerakannya? Mentaati segala perintah dan kebijakan yang ada di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas begitu mengusik hati. Fak