Jika organisasi hanya dipergunakan
untuk mencari pengalaman, maka semua orang bisa melakukannya. Jika organisasi
hanya untuk kepentingan mencari tahta, maka semua orang juga bisa melakukannya.
Saya yakin, pilihan apapun yang pada akhirnya jatuh ke pundak kita, menjadi
amanah yang nantinya akan dipertanggung jawabkan, bukan tanpa alasan.
Melanjutkan tulisan kemarin, ketika
sayap-sayap sudah mulai dapat mengangkasa kembali, saya mendapatkan tantangan
selanjutnya. Terpilih menjadi wakil ketua di sebuah organisasi yang jadi ujung
tombak mahasiswa di tingkat fakultas!
Pekerjaan rumah kami tidak mudah,
bagaimana cara agar orang-orang bisa nyaman berada di rumah mereka sendiri,
bagaimana cara agar mereka dapat kembali, tidak sibuk di luar, atau minimal mau
menengok rumahnya barang sebentar. Saat itu memang sedang ramai-ramainya
organisasi eksternal yang berkembang
pesat. Saya tidak menyalahkan mereka yang berjuang di sana, justru itu bagus,
karena rata-rata mereka mendapat pembinaan yang baik dan peningkatan kualitas
diri yang juga mumpuni. Saya hanya minta satu hal dari mereka, ‘hadirlah ketika
dibutuhkan.’
Bukan saya tidak mengerti prioritas
mereka, bukan saya juga egois yang selalu memaksakan kehendak . Saya hanya berpikir
bahwa keinginan mereka untuk mendaftar, lantas kemudian menyetujui untuk
bergabung, setidaknya itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan keseriusan
mereka. Sebagai pemimpin yang kakinya ada di antara surga dan neraka, tentu
saya bersikukuh akan hal itu. Karena apapun yang terjadi, saya dan ketua-lah
yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban. Jikapun tidak dunia, nanti di
yaumul hisab nanti. Bagaimana mungkin saya tidak memikirkan hal ini ?
Namun, sebagai pemimpin, saya
menyadari bahwa saya kurang tegas dalam menentukan keputusan, bahkan di satu
sisi saya seakan membiarkan mereka untuk pergi terlalu lama, selalu mengizinkan
mereka, selalu memberikan kompromi. Bisa dibilang, saya terlalu baik. Tidak
bisa memarahi apalagi mengejar mereka untuk selalu datang.
Kenapa masih terus bisa bertahan ?
Kata para tetua, “rasa sakit di masa lalu menghasilkan hati yang lebih lapang
untuk bisa menerima kondisi yang buruk.” Ya, mungkin itu yang terjadi. Saya
harus bersyukur karena saya memiliki anggota-anggota yang berkompeten dan
kooperatif untuk diajak kerja sama. Walaupun mereka sering lupa ‘pulang’, namun
bisa ditutupi oleh teman-teman lainnya yang sedang bentah tinggal di ‘rumah’.
Bisa dibilang tugas kita tidak mudah,
kita harus meneruskan untuk membabat ‘rumput-rumput liar’ yang sebelumnya telah
dikerjakan oleh generasi pertama. Administrasi yang belum rapi, alur organisasi
yang belum berjalan, kegiatan yang masih minim, kecintaan terhadap keluarga
sendiri yang masih belum terbangun, adalah masalah-masalah yang harus
diselesaikan segera.
Ketika semuanya berjalan dengan baik,
saat semuanya mulai terbangun dengan rapi, masalah kembali muncul. Bukan
masalah dari luar, melainkan dari keluarga sendiri ! Karena sedang sibuk
memperbaiki rumah yang bocor sana sini, kita melupakan jalanan luar rumah yang
sebelumnya sudah dibabat oleh generasi pertama. Dan itulah yang dipermasalahkan
oleh oposisi ! Masalah kedua muncul kembali, kita harus menghadapi satu masalah
mendasar yang penting untuk keberlangsungan ke depan, yaitu akreditasi !
Sebagai organisasi yang memang tugasnya
menjadi eksekutor. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menerima seluruh
saran & kritikan serta menjalankan semua itu apabila sudah disetujui oleh
internal organisasi. Tapi yang perlu diingat adalah, tidak semua aspirasi bisa
kita lakukan, tidak semua masukan bisa kita eksekusi, tentu banyak
pertimbangan-pertimbangan dan prosedur perizinan yang harus dilewati.
Menyatukan keinginan antara oposisi
yang keukeh ingin mengadakan sebuah
kegiatan sementara pihak atasan tidak mengizinkan bukan perkara mudah. Terlepas
dari kesalahan kami yang saat itu terjadi miskom sehingga berhasil memenangkan
tender, masalah ini berbuntut sangat panjang & menguras tenaga serta waktu.
Pertemuan berkali-kali dilaksanakan (dimediasi oleh pihak ketiga), baik secara
kelompok maupun pendekatan personal, kesepakatan disetujui bersama, namun
lagi-lagi tetap tidak menemui titik terang.
Adu argumen dan saling ngotot
mempertahankan ego tidak terhindarkan lagi. Grup-grup menjadai ramai membahas
permasalahan yang sama, bahkan berkembang pula masalah-masalah baru seiring
dengan pembicaraan-pembicaraan yang berasal dari forum kecil. Satu hal yang
bisa dipetik dari semua kerumitan ini adalah, anggota satu per satu ‘pulang’. Mereka
ikut memperkuat lini pertahanan yang sedang rapuh karena diserang dari berbagai
sisi.
Pada akhirnya, masalah tersebut
selesai. Entah karena sudah lelah bertengkar atau memang sudah buntu tidak juga
menemukan solusi. Rumah mulai mendingin, masalah itu sudah mulai basi dan tidak
lagi dibicarakan.
Apakah semua sudah selesai ? Belum.
Terlalu fokusnya mengurus masalah ini
membuat kita lalai dalam program kerja yang harusnya dilaksanakan, ditambah
larangan pihak atasan untuk ‘tidak dulu’ melakukan kegiatan, organisasi menjadi
terlihat ‘vakum’ dalam beberapa waktu. Ketika generasi baru datang, mereka
mempertanyakan fungsi organisasi yang seperti mati tidak ada kegiatan. Karena tidak ingin berlarut-larut seperti yang
lalu-lalu, kita mengadakan mediasi dengan mereka, menjelaskan keadaan,
menyatukan pandangan. Karena anggota semakin solid, permasalahan bisa lebih
cepat selesai dan tidak lagi berbuntut panjang.
Sebelum masa jabatan selesai, kita
berinisiatif untuk mengadakan kegiatan guna mempererat tali persaudaraan dan
kesatuan. Mengajak semua elemen untuk hadir dan sejenak melupakan permasalahan
yang membuat kita saling bermusuhan.
Rumah yang kita bangun kembali memang jauh dari kata selesai. Bahkan
harus mengorbankan diri untuk tidak membabat jalanan di luarnya. Namun
inisiasi-inisiasi yang sudah diletakkan menjadi dasar, slogan-slogan yang
menjadi tema setiap kegiatan, semoga dapat menjadi satu visi yang terus kita
usahakan. Bahwa keluarga adalah tempat kembali ternyaman. Atapnya adalah
persatuan, dan pondasinya adalah keinginan untuk selalu bersama apapun masalah
yang terjadi.
Kita tetap boleh saling mengkritik, saling memberi masukan dan saran,
bahkan terkadang saling bermusuhan, itu bukanlah hal yang terlarang. Bahkan
ketika generasi pertama melakukan itu, bukan karena benci dengan rumah ini.
Justru begitulah cara mereka menunjukkan rasa sayang, ingin rumahnya dikenal ‘orang
luar’, ingin ikut andil dalam memajukan rumah yang berada di pelosok hutan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu untuk mendewasakan
organisasi, menyatukan yang terputus, membantu memaknai rumah sebagai tempat
untuk kembali.
Bagi siapapun yang pernah tersakiti, merasa terdzolimi, janjiinya belum
ditepati, dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Untuk satu tahun yang hebat, terima
kasih telah bertahan & mau berjuang bersama. Walau masih banyak kekurangan,
kalian sudah menjadi bagian mengesankan yang susah untuk dilupakan. ^^
Temanggung, 26 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar