Langsung ke konten utama

Narasi Juang (Bagian II) : "Memaknai Tempat Kembali"


                                                                                                                           
Jika organisasi hanya dipergunakan untuk mencari pengalaman, maka semua orang bisa melakukannya. Jika organisasi hanya untuk kepentingan mencari tahta, maka semua orang juga bisa melakukannya. Saya yakin, pilihan apapun yang pada akhirnya jatuh ke pundak kita, menjadi amanah yang nantinya akan dipertanggung jawabkan, bukan tanpa alasan.

Melanjutkan tulisan kemarin, ketika sayap-sayap sudah mulai dapat mengangkasa kembali, saya mendapatkan tantangan selanjutnya. Terpilih menjadi wakil ketua di sebuah organisasi yang jadi ujung tombak mahasiswa di tingkat fakultas!

Pekerjaan rumah kami tidak mudah, bagaimana cara agar orang-orang bisa nyaman berada di rumah mereka sendiri, bagaimana cara agar mereka dapat kembali, tidak sibuk di luar, atau minimal mau menengok rumahnya barang sebentar. Saat itu memang sedang ramai-ramainya organisasi eksternal  yang berkembang pesat. Saya tidak menyalahkan mereka yang berjuang di sana, justru itu bagus, karena rata-rata mereka mendapat pembinaan yang baik dan peningkatan kualitas diri yang juga mumpuni. Saya hanya minta satu hal dari mereka, ‘hadirlah ketika dibutuhkan.’

Bukan saya tidak mengerti prioritas mereka, bukan saya juga egois yang selalu memaksakan kehendak . Saya hanya berpikir bahwa keinginan mereka untuk mendaftar, lantas kemudian menyetujui untuk bergabung, setidaknya itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan keseriusan mereka. Sebagai pemimpin yang kakinya ada di antara surga dan neraka, tentu saya bersikukuh akan hal itu. Karena apapun yang terjadi, saya dan ketua-lah yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban. Jikapun tidak dunia, nanti di yaumul hisab nanti. Bagaimana mungkin saya tidak memikirkan hal ini ?

Namun, sebagai pemimpin, saya menyadari bahwa saya kurang tegas dalam menentukan keputusan, bahkan di satu sisi saya seakan membiarkan mereka untuk pergi terlalu lama, selalu mengizinkan mereka, selalu memberikan kompromi. Bisa dibilang, saya terlalu baik. Tidak bisa memarahi apalagi mengejar mereka untuk selalu datang.

Kenapa masih terus bisa bertahan ? Kata para tetua, “rasa sakit di masa lalu menghasilkan hati yang lebih lapang untuk bisa menerima kondisi yang buruk.” Ya, mungkin itu yang terjadi. Saya harus bersyukur karena saya memiliki anggota-anggota yang berkompeten dan kooperatif untuk diajak kerja sama. Walaupun mereka sering lupa ‘pulang’, namun bisa ditutupi oleh teman-teman lainnya yang sedang bentah tinggal di ‘rumah’.  

Bisa dibilang tugas kita tidak mudah, kita harus meneruskan untuk membabat ‘rumput-rumput liar’ yang sebelumnya telah dikerjakan oleh generasi pertama. Administrasi yang belum rapi, alur organisasi yang belum berjalan, kegiatan yang masih minim, kecintaan terhadap keluarga sendiri yang masih belum terbangun, adalah masalah-masalah yang harus diselesaikan segera.

Ketika semuanya berjalan dengan baik, saat semuanya mulai terbangun dengan rapi, masalah kembali muncul. Bukan masalah dari luar, melainkan dari keluarga sendiri ! Karena sedang sibuk memperbaiki rumah yang bocor sana sini, kita melupakan jalanan luar rumah yang sebelumnya sudah dibabat oleh generasi pertama. Dan itulah yang dipermasalahkan oleh oposisi ! Masalah kedua muncul kembali, kita harus menghadapi satu masalah mendasar yang penting untuk keberlangsungan ke depan, yaitu akreditasi !

Sebagai organisasi yang memang tugasnya menjadi eksekutor. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menerima seluruh saran & kritikan serta menjalankan semua itu apabila sudah disetujui oleh internal organisasi. Tapi yang perlu diingat adalah, tidak semua aspirasi bisa kita lakukan, tidak semua masukan bisa kita eksekusi, tentu banyak pertimbangan-pertimbangan dan prosedur perizinan yang harus dilewati.

Menyatukan keinginan antara oposisi yang keukeh ingin mengadakan sebuah kegiatan sementara pihak atasan tidak mengizinkan bukan perkara mudah. Terlepas dari kesalahan kami yang saat itu terjadi miskom sehingga berhasil memenangkan tender, masalah ini berbuntut sangat panjang & menguras tenaga serta waktu. Pertemuan berkali-kali dilaksanakan (dimediasi oleh pihak ketiga), baik secara kelompok maupun pendekatan personal, kesepakatan disetujui bersama, namun lagi-lagi tetap tidak menemui titik terang.

Adu argumen dan saling ngotot mempertahankan ego tidak terhindarkan lagi. Grup-grup menjadai ramai membahas permasalahan yang sama, bahkan berkembang pula masalah-masalah baru seiring dengan pembicaraan-pembicaraan yang berasal dari forum kecil. Satu hal yang bisa dipetik dari semua kerumitan ini adalah, anggota satu per satu ‘pulang’. Mereka ikut memperkuat lini pertahanan yang sedang rapuh karena diserang dari berbagai sisi.

Pada akhirnya, masalah tersebut selesai. Entah karena sudah lelah bertengkar atau memang sudah buntu tidak juga menemukan solusi. Rumah mulai mendingin, masalah itu sudah mulai basi dan tidak lagi dibicarakan.

Apakah semua sudah selesai ? Belum.

Terlalu fokusnya mengurus masalah ini membuat kita lalai dalam program kerja yang harusnya dilaksanakan, ditambah larangan pihak atasan untuk ‘tidak dulu’ melakukan kegiatan, organisasi menjadi terlihat ‘vakum’ dalam beberapa waktu. Ketika generasi baru datang, mereka mempertanyakan fungsi organisasi yang seperti mati tidak ada kegiatan.  Karena tidak ingin berlarut-larut seperti yang lalu-lalu, kita mengadakan mediasi dengan mereka, menjelaskan keadaan, menyatukan pandangan. Karena anggota semakin solid, permasalahan bisa lebih cepat selesai dan tidak lagi berbuntut panjang.

Sebelum masa jabatan selesai, kita berinisiatif untuk mengadakan kegiatan guna mempererat tali persaudaraan dan kesatuan. Mengajak semua elemen untuk hadir dan sejenak melupakan permasalahan yang membuat kita saling bermusuhan.

Rumah yang kita bangun kembali memang jauh dari kata selesai. Bahkan harus mengorbankan diri untuk tidak membabat jalanan di luarnya. Namun inisiasi-inisiasi yang sudah diletakkan menjadi dasar, slogan-slogan yang menjadi tema setiap kegiatan, semoga dapat menjadi satu visi yang terus kita usahakan. Bahwa keluarga adalah tempat kembali ternyaman. Atapnya adalah persatuan, dan pondasinya adalah keinginan untuk selalu bersama apapun masalah yang terjadi.
Kita tetap boleh saling mengkritik, saling memberi masukan dan saran, bahkan terkadang saling bermusuhan, itu bukanlah hal yang terlarang. Bahkan ketika generasi pertama melakukan itu, bukan karena benci dengan rumah ini. Justru begitulah cara mereka menunjukkan rasa sayang, ingin rumahnya dikenal ‘orang luar’, ingin ikut andil dalam memajukan rumah yang berada di pelosok hutan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu untuk mendewasakan organisasi, menyatukan yang terputus, membantu memaknai rumah sebagai tempat untuk kembali.
Bagi siapapun yang pernah tersakiti, merasa terdzolimi, janjiinya belum ditepati, dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Untuk satu tahun yang hebat, terima kasih telah bertahan & mau berjuang bersama. Walau masih banyak kekurangan, kalian sudah menjadi bagian mengesankan yang susah untuk dilupakan. ^^

Temanggung, 26 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup bersama Impian

"A dream is a wish your heart makes" - Walt Disney Mimpi adalah hak setiap orang. Semua orang boleh bermimpi. Lagipula, mimpi itu gratis dan tidak perlu mengeluarkan tenaga apapun. Hanya membutuhkan sedikit pemikiran, bahkan bisa yang hanya terlintas sejenak, lalu tulis di selembar tulisan. Selesai. Mimpimu sudah jadi. Sesedarhana itu saja. Banyak orang yang menyangsikan kekuatan sebuah mimpi. Jujur, saya juga mempunyai pikiran yang sama pada mulanya. Memang sih, ada banyak kisah-kisah bagaimana seseorang bisa mencapai mimpinya, banyak juga saya mendengar motivator-motivator, membaca buku-buku tentang hebatnya suatu mimpi. Tapi tetap saja saya tidak langsung percaya begitu saja. Seiring berjalannya waktu, Saya menyadari satu hal. Bermimpi itu sangat gampang, dan alasan kenapa banyak orang tidak melakukannya adalah karena menganggap bahwa mimpi itu kurang penting, mereka lebih percaya kerja keraslah yang dapat menentukan hasil akhir. Menurut saya, kerja keras memang p...

Musuh Mahasiswa

Setiap orang punya musuh. Sama. Mahasiswa juga punya. Entah mahasiswa di daerah lain beranggapan sama atau tidak. Bagi kami. Mahasiswa daerah timur Indonesia. Musuh kami ada dua. Mati lampu dan sinyal internet. Lagi asyik-asyiknya ngerjain tugas a.k.a buka facebook atau youtube . Gadget kami dijejali oleh sebuah hal yang sangat mengerikan! Bukan virus, spam , atau malware berbahaya. Melainkan satu kalimat menyesakkan. 'No Internet Connection" Itu yang pertama. Yang kedua adalah mati listrik. Di daerah kami mati listrik seakan menjadi teman baik. Senantiasa membersamai setiap hari. Setiap satu minggu sekali bisa dipastikan ada masanya semua menjadi gelap. Pet! Kegiatan seperti mengecas hp dan memasak nasi memakai rice cooker menjadi terganggu. Awalnya memang tidak nyaman. Tapi lama-lama menjengkelkan juga. (Lah, apa bedanya? :v) Oke. Cukup. Itu dua hal yang menjadi musuh bersama. Dan saya meyakini satu hal. Tidak akan ada yang bisa berdamai dengan kedua hal itu. Tidak sa...

Seklumit Hikmah dari Bima

Yang namanya musibah memang misterius. Tidak ada orang yang tahu. Seringnya datang dengan tiba-tiba. Tanpa disadari dan tanpa ada yang mempersiapkan dalam menghadapinya. Seperti hari itu, saya mendapat berita bahwa ada kebakaran hebat yang melanda Pulau Bajo yang terletak di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya adalah seorang perantau yang tinggal di Kabupaten Sumbawa Besar. Tentu kabar ini sangat mengejutkan bagi saya. Mengingat Sumbawa-Bima berada dalam satu pulau yang sama.Dan saya baru mendapat kabar tersebut beberapa hari setelah peristiwa terjadi. Maka, berangkat dari rasa simpati saya dan beberapa teman dari sebuah lembaga sosial, kami memutuskan untuk mengirimkan bantuan ke sana. Malam itu cuaca tampak bersahabat. Kami mempersiapkan barang-barang pribadi untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Walaupun berada dalam pulau yang sama, jarak antara Sumbawa dan Bima tidak bisa dikatakan dekat. Perlu setidaknya 8 jam untuk mencapai Kota Bima. Maka dari itu, sengaja kami memil...