Surabaya (20.17 WIB)
Matahari belum sepenuhnya tenggelam ketika tulisan besar 'SURABAYA' terlihat megah melatar belakangi mall besar di kota pahlawan. Finally, setelah 10 jam melalui 3 provinsi dan pantat yang hampir mata rasa sampailah di ibukota penuh sejarah ini.
Surabaya selalu menggambarkan diri sebagai sosok yang angkuh di daratan. Memakan habis kota-kota kecil di sudut-sudutnya. Bukan karena sombong, tapi memang predikat itu layak disematkan kepada metropolitan yang punya aspal lebar, trotoar sepanjang jalan, dan gedung pencakar memenuhi langit-langit. Sungguh, susah ditemukan tandingannya. Mungkin Kota Apel sudah mendekati, tapi perlu 2 jam menuju ke sana, jadi tidak masuk ke dalam hitungan.
Mustahil pergi ke kota ini tanpa kenalan. Bisa-bisa jadi gelandangan yang terjebak di warung dengan harga tinggi.
Maka saya sudah mempersiapkan itu semua. Berbekal sedikit relasi saya menghubungi kenalan lama. Bukan teman ya, masih dianggapnya kenalan karena baru sekali kami bertemu. Hanya obrolan singkat, tapi bermakna sekali ketika itu. Jadi tanpa sungkan saya meminta tolong untuk singgah di rumahnya. Hebatnya dia bersedia.
"Piye kabarmu cak?" Tanya saya dengan logat khas suroboyoan. Sesaat setelah kami duduk di salah satu warung untuk menyantap makan malam.
Kabarnya baik, tentu saja. Saya bisa menebak bahwa dia orang yang supel dan senang mengobrol. Benar saja. Tak perlu bersusah payah mencari bahan obrolan karena dia sudah otomatis menceritakan sebagian hidupnya.
Saya bisa tahu bahwa masalah pekerjaan adalah yang paling berkesan di hidupnya. Karena hanya itu yang dia ceritakan.
Bekerja sambil kuliah. Bekerja untuk membiayai kuliah. Tidak bisa membayangkan capeknya seperti apa. Belum masalah kantor, difitnah, dianggap junior yang belagu, dikerdilkan. Dia pernah mengalami semuanya. Salut sekali! Bisa bertahan hingga akhirnya lulus. Tanpa merepotkan orangtua, berjuang atas jerih payahnya sendiri. Malam ini serasa berada di acara Hitam Putih, saya jadi host dan dia narasumbernya. Inspiratif..!!
"Kon ngerti ta iki nggon opo?" Tanyanya setelah melahap sendok terakhirnya. Di tengah percakapan panjang. Ini tempat apa? Ya tahu. Warung makan kan? Atau dia punya sejarah menarik? Seperti warung indomie kepunyaan orang sunda di Jogja?
"Dhisik kene iki dolly..lokalisasi kae lho.."
Saya terperanjat. Memastikan sekali lagi. Dia mengangguk meyakinkan.
Gotcha..
Saya otomatis mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan sempit itu. Sebagian berupa petak-petak kecil yang berbeda-beda. Ada beberapa yang sudah ditinggalkan. Tak terbayang dulu di sini wisata malam yang terkenal se-Asia Tenggara menggeliat. Wanita-wanita penjaja diri berdiri menawarkan di depan rumah. Ratusan orang berdatangan, bahkan bule-bule kulit putih juga tidak mau ketinggalan.
Dolly sudah tutup beberapa tahun yang lalu. Tanahnya dibeli pemerintah. Tidak mungkin melihat pemandangan seperti itu lagi sekarang. Tapi tempat prostitusi terbesar itu meninggalkan kenangan. Betapa rendahnya harga sebuah kehormatan. Tidak hanya dijual, tapi juga diobral dengan harga murah. Mengingat kembali bahwa ternyata si suami dari wanita yang menjual dirinya juga ikut membantu (menjadi tukang parkir atau tukang awe-awe) sangat mengiris-iris hati.
Saya paham. Alasan ekonomi jadi alasan utama mereka melakukannya. Kehidupan sulit. Apa-apa mahal sementara pemasukan tidak ada. Ah, sepertinya memang harus main jauh supaya mengenal apa yang sebenarnya terjadi.
Hanya saja, apapun alasannya. Manusia bukan binatang. Punya kehormatan yang harus dijaga, punya akal yang mestinya digunakan dengan baik.
Perjalanan saya berakhir (sementara) di atas kasur yang empuk. Saatnya mengumpulkan energi untuk esok hari.
Lautan luas membentang menunggu untuk ditaklukkan :)
See ya
Komentar
Posting Komentar